31.10.09

Tinjauan : Pengendalian Risiko

Tinjauan : Pengendalian Risiko

Oleh : Z . D u n i l

Tulisan dibawah ini dirangkum dari suatu tulisan dalam web site IFCI yang berjudul ‘Overview : Risk Control ‘, yang dipublikasi pada sekitar tahun 2000. Mengingat isi tulisan tersebut merupakan tinjauan atas ketentuan-ketentuan dan petunjuk (guidance ) maupun best practice yang dianjurkan dalam pengelolaan ‘Pengendalian Risiko’ yang menurut penulis masih sangat relevan dengan situasi penerapan manajemen risiko pada perbankan di Indonesia dewasa ini , maka berikut disampaikan terjemahan bebas dari overview tersebut untuk diambil manfaatnya :

Akronim :
BCBS ; Basel Committee on Banking Supervision
IOSCO : International Organisation Of Securities Commission)
Dekom : Dewan Komisaris.
HLI : Highly Leveraged Institutions
LTCM : Long Term Capital Management

-----------


Kolapsnya Baring’s , suatu Merchan Bank Inggris tertua serta kerugian miliaran dollar yang dialami Sumitomo Corporation, mencuatkan kesadaran tentang perlunya pengendalian risiko yang sehat bagi korporasi. Namun demikian, sebelum terjadinya kerugian yang luar biasa itu , pengendalian risiko sebenarnya sudah merasuki benak mereka yang sekarang dikenal sebagai regulator dan direktur dari lembaga keuangan dunia terkemuka. Mereka sudah sangat memahami bahwa pengendalian risiko secara internal sangat penting bagi operasional yang prudent bagi suatu lembaga keuangan untuk menunjang stabilitas sistem keuangan secara global.

Pengendalian risiko mempunyai cakupan yang lebih luas dari manajemen risiko. Manajemen risiko sering didefinisikan sebagai hedging atau menetralisasikan risiko keuangan yang dihasilkan dari satu atau suatu seri transaksi. Dalam tulisan ini, pengendalian risiko merupakan keseluruhan proses kebijakan , prosedur dan sistem yang dibutuhkan oleh suatu institusi untuk mengelola secara prudent semua risiko yang dihasilkan dari transaksi-transaksi keuangan, dan untuk meyakini bahwa semua itu berada dalam batas ‘risk appetite’ yang sudah ditetapkan. Untuk menghindari pertentangan kepentingan, pengendalian risiko harus dipisahkan dan harus cukup independen dari unit bisnis yang melaksanakan transaksi keuangan perusahaan (unit terakhir ini lazimnya bertanggung jawab dalam pelaksanan hedging risiko yang dihasilkan dari perdagangan yang mereka lakukan). Dalam beberapa organisasi, pengendalian risiko dilaksanakan oleh unit-unit manajemen risiko yang independen dibandingkan oleh unit yang dinamakan ‘seksi pengendalian risiko’, namun perbedaan disini hanya semantik bukan perbedaan dalam ‘job function’.

Dalam kurun empat tahun belakangan ini telah diterbitkan beberapa laporan dengan rekomendasi rekomendasi tentang ‘best practices’ dalam pengendalian risiko dan manajemen risiko. Ada dua rekomendasi yang menonjol , pertama laporan dari G-30 yang dirilis pada bulan July 1993, yang berjudul “ Derivatives Practices and Principles” (suatu inisiatif dari sektor privat) dan “ Risk Management Guidelines for Derivatives” yang ditulis bersama oleh BCBS dan IOSCO yang terbit setahun berikutnya. Kedua laporan ini telah mempertajam ‘best practices’ dalam pengendlaian risiko saat ini.


Kedua laporan tersebut telah mengakar, sederhana dan logis. Keduanya menekankan betapa pentingnya menentukan kebijakan pada level tertinggi dan cakupan keterlibatan dari suatu perusahaan dalam penggunaan instrumen keuangan, pengawasan oleh Dekom dan Direksi; proses manajemen risiko yang melibatkan pengukuran yang berkesinambungan (continuos measurement), pemantauan (monitoring) dan pengendalian (controlling) semua risiko (khususnya risiko pasar dan risiko kredit), informasi manajemen yang akurat dan dapat dipercaya dengan limit limit yang komprehensif, laporan manajemen secara berkala, pengendalian dan sistem operasional yang sehat (sound), serta melalui prosedur pengendalian dan audit. Laporan tersebut juga menekankan pentingnya faktor manusia dalam manajemen risiko - mereka yang terlibat haruslah profesional yang mempunyai skill dan pengalaman yang dibutuhkan, dan perusahaan belum boleh melakukan deal dengan suatu instrument apapun sebelum direksi menyetujui secara penuh (fully satisfied) bahwa semua personel yang terlibat memahami pengelolaan risiko yang terkadung dalam setiap transaksi. Cara khusus suatu institusi menerapkan rekomendasi rekomendasi ini tergantung pada kompleksitas dan sifat dan volume aktivitas perusahaan keuangan itu sendiri.


Laporan dari G -30 memenuhi keduanya (lembaga keuangan) dan pengguna akhir (korporasi). Pedoman (guidelines) dirangkum dalam 20 rekomendasi dimana perusahaan perusahaan dapat menggunakannya untuk membentuk ( set-up ) dan mengevaluasi manajemen risiko serta praktik praktik pengendalian mereka. Pedoman tersebut dikelompokkan dalam lima area sebagai berikut :

1. Kebijakan direksi – secara umum
2. Penilaian dan manajemen risiko pasar
3. Manajemen dan pengukuran risiko kredit
4. sistem , operasi dan pengendalian
5. Rekomendasi bagi pembuat undang-undang (legislators), pembuat peraturan (regulators) dan otoritas pengawasan
Papers BCBS dan IOSCO diarahkan kepada organisasi perbankan dan otoritas – untuk menyediakan baik kerangka kerja untuk diikuti dan sebagai pedoman dalam melakukan asesmen terhadap prosedur manajemen risiko mereka. Pedoman ini ;lebih detil dibandingkan dengan yang diberikan oleh G-30, dan mencakup praktik praktik manajemen yang sehat (sound) untuk setiap risiko utama yang di-identifikasi ; risiko kredit , pasar , likiditas , operasional dan legal. Sementara G-30 mengintrodusir independensi fungsi manajemen risiko kredit dan risiko pasar, BCBS dan IOSCO selangkah lebih maju dengan menyarankan bahwa keseluruhan proses pengukuran risiko , pemantauan risko, konsisten dengan kebijakan yang ditetapkan perusahaan dan harus independen. Independensi harus tercermin dalam hirargi senioritas institusi sebagaimana sistem pelaporan eksposur perusahaan. Dokumen yang dikeluarkan tahun 1994 sudah merupakan dokumen definitif tentang best practices dalam pengendalian risiko untuk derivatif.

Fokus BCBS terhadap pengendalian intern yang sehat (sound) adalah dengan diterbitkannya “ Frame work for the evaluation of Internal Control System” (1998). Final report ini dirilis pada Oktober 1998 setelah didahului dengan penerbitan draft yang diterbitkan pada Januari tahun yang sama. BCBS memberi catatan, “ Suatu analisa dari permasalahan yang berkaitan dengan kerugian ( yang terjadi pada beberapa organisasi perbankan) meng-indikasikan bahwa mereka kemungkinan menghindar dari keharusan bank dalam mempertahankan sistem pengendalian intern yang efektif. Sistem dimaksud akan menjaga atau secara lebih dini dapat mendeteksi persolan yang dapat menggiring mereka pada kerugian, karenanya membatasi kerugian (damage) pada organisasi perbankan”. BCBS juga memberi catatan bahwa pengendalian dapat dirinci disesuaikan dengan tipe permasalahan dan situasi yang mutakhir yang dihadapi bank , dapat dikelompokkan dalam 5 (lima ) kategori besar sebagai berikut :
1. Kesenjangan dalam pengawasan dan pertanggungjawaban , kegagalan dalam pengembangan suatu budaya pengendalian yang kuat dalam bank.
2. Ketidak cukupan asesmen atas risiko kegiatan perbankan tertentu, baik pada on maupun off balance sheet.
3. Tidak ada atau kegagalan dari pengendalian aktifitas kunci, pemisahan tugas (segregation of duties), otorisasi , verifikasi , rekonsiliasi, dan kaji ulang terhadap kinerja operasional.
4. Ketidak cukupan komunikasi informasi antara tingkatan manajemn dalam bank, khususnya dalam mengembangkan komunikasi tentang suatu permasalahan .
5. Ketidak cukupan atau tidak efektifnya program audit serta sistem pemantauan lainnya.


Jadi tidak merupakan kejutan kalau 13 prinsip yang dikeluarakan oleh BCBS mencakup pengawasan manajemen dan budaya pengendalian (control culture) ; asesmen risiko ; kegiatan pengendalian , informasi dan komunikasi, pemantauan, dan evaluasi sistem pengendlaian intern oleh otoritas. Tidak seperti pedoman sebelumnya, prinsip-prinsip terakhir tentang pengendalian intern tidak ditujukan bagi suatu area yang spesifik. Melainkan, BCBS menginginkan otoritas untuk menggunakannya dalam melakukan evaluasi pengendalian intern untuk semua kegiatan bank baik on maupun off balance sheet.


Pedoman yang diberikan menekankan pada pentingnya peranan direksi dalam membentuk suatu sistem pengendalian yang kokoh . Prinsip kedua mengemukan, bahwa direksi tidak hanya harus membentuk dan memantau kecukupan dan efektivitas dari sistem pengendalian intern, melainkan juga harus mengembangkan proses dalam mengidentifikasi, mengukur , memantau dan mengendalikan risiko yang membebani bank, mempertahankan suatu struktur organisasi yang secara jelas menggambarkan tanggung jawab (responsibility), kewenangan (authority) dan hubungan pelaporan dan meyakini bahwa pendelegasian kewenagna dilaksanakan secara efektif

Prinsip ketiga, hanya berkaitan dengan pembentukan budaya pengendalian yang kuat yang mencerminkan pentingnya BCBS menempatkan sebagai subjek karena hal ini dipandang sebagai elemen yang esensial bagi suatu sistem pengendalian intern yang efektif. BCBS meyakini bahwa hal ini adalah tanggung jawab dari Dekom (board of directors) dan direksi untuk mendorong betapa pentingnya pengendalian intern melalui aksi dan kata-kata. Hal ini mencakup nilai nilai etik manajemen yang ditunjukkan dalam deal-deal bisnis mereka, baik di dalam maupun di luar organisasi. Misalnya, direksi mungkin dapat melemahkan budaya pengendalian dengan mempromosikan dan memberi reward kepada manajer yang sukses meningkatkan keuntungan namun gagal dalam mengimplementasikan kebijakan pengendalian intern atau menyelesaikan masalah yang di-identifikasi oleh internal audit. Aksi seperti itu memberikan pesan kepada pihak lain dalam organisasi bahwa pengendalian intern hanyalah nomor dua dalam prioritas organisasi, dan dengan demikian mengurangi komitmen dan kualitas dari budaya pengendalian (control culture).

Forum bersama Financial Conglomerates menunjukkan kesenjangan pengawasan manajamen dalam konsultatif dokumen mereka tentang bagaimana pengawasan keuangan konglomerat harus dilakukan. Satu dari laporan konstituen ‘ Fit and Proper Principles (1999)’ mengemukakan kriteria yang dapat digunakan oleh otoritas untuk melakukan asesmen apakah anggota direksi dan anggota komisaris kompeten dalam memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini mencakup kecocokan, kecakapan atau test kualifikasi yang diterapkan pada tingkat otoritas tertentu dan pada situasi spesifik tertentu. Test ini tidak hanya diterapkan kepada anggota direksi dan komisaris melainkan juga kepada pemegang saham dimana penguasaan sahamnya diatas suatu ambang tertentu atau penguasaan tersebut memungkinkan yang bersangkutran untuk mempengaruhi secara material pengaturan dalam keuangan perusahaan.

Pentingnya isu ini sekali lagi di ulangi dalam suatu paper tentang corporate governance oleh BCBS , “ Enhancing Corporate Governance in Banking Organnization “ (1999), dimana terdapat 6 kunci praktrik praktik bagi bank dan BCBS berharap agar paper tersebut akan membantu otoritas pengawasan diseluruh dunia untuk mempromosikan prinsip prinsp sound corporate governance.

Salah satu saran tentang praktik, dipisahkan karena hal itu mencerminkan keprihatinan diantara pembuat peraturan karena menyangkut program kompensasi dalam organisasi bank. Praktik ke 6 menyatakan bahwa komisaris dan direksi hendaknya meyakini bahwa pendekatan kompensasi terhadap mereka sudah sesuai dengan nilai-nilai perusahaan (bank) , tujuan (objectives), strategi dan lingkungan pengendalian . Kegagalan dalam mengkaitkan insentif kompensasi terhadap strategi bisnis dapat meransang keberanian dari direksi untuk membukukan kegiatan bisnis berdasarkan volume dan / atau keuntungan jangka pendek pada bank dengan kurang memperhatikan pada konsekwensi risiko jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang sesuai pada ‘trader’ dan loan officers, namun dapat pula memberi pengaruh buruk pada performance staf lainnya yang menopang pekerjaan mereka.


IOSCO juga mempublikasikan suatu paper yang ditujukan bagi pengendalian risiko dalam suatu perspektif otoritas . ‘Risk Management and Control Guidance for Securities Firms and their Supervisors ‘ (1998) menyatakan bahwa otoritas harus melakukan suatu usaha bagi pemahaman lingkungan pengendalian bagi masing masing perusahaan dan meyakini bahwa pengendalian ini mencukupi (adequate). Otoritas hendaknya pro aktif bukan bersikap reaktif dalam merencanakan kualitas standar pengendalian yang tinggi. Beberapa saran IOSCO yang disampaikan adalah menetapkan tier capital , peraturan peraturan yang mensyaratkan penetapan pengaturan manajemen risiko dan pengendalian perusahaan sekuritas dan bekerja sama dengan asosiasi industri untuk menyebar luaskan pembentukan pengendalian mana-jemen.

Paper dari IOSCO menetapkan 12 dasar elemen dari suatu manajemen risiko dan sistem pengendalian. Otoritasjavascript:void(0) hendaknya menggunakan elemen-elemen ini sebagai ‘benchmark’ untuk mengukur kecukupan sistem pengendlaian . Keduabelas elemen itu di kelompokkan dalam 5 kategori :
- lingkungan pengendalian (the control environment)
- sifat dan cakupan pengendalian (nature and scope of control)
- implementasi (implementation)
- verifikasi (verivication ) , dan
- pelaporan (reporting)


Disamping pedoman pengendalian risiko dari BIS dan IOSCO yang dibicarakan diatas, perkembangan pasar keuangan memperlihatkan bahwa masih terdapat kekurangan yang serius dalam praktik manajemen risiko pada bank dan perusahaan sekuritas. Pemberian dan peningkatan fasilitas kredit kepada ‘Long Term Capital Management’ yang memper-kenankan lembaga ini untuk membentuk suatu eksposure pasar yang melebihi $. 200 milyar dengan base capital $.4 milyar , dan kelanjutannya yang hampir kolaps , mensegerakan Basel Committee untuk menganalisa hubungan antara bank dengan hightly leveraged Institution (HLIs). “ Banks’ Interaction s with Highly Leveraged Institutions” (1999) and “Sound Practices for Bank’s Interactions with Highly Leveraged Institutions” (1999), menggaris bawahi beberapa kekurangan dalam praktik pengendalian risiko bank-bank yang berkaitan dengan HLIs.


Bank bank tidak mempunyai kebijakan dan pedoman yang efektif untuk mengelola eksposure bagi HLIs sedemikian rupa, sehingga konsisten dengan standar kredit mereka secara overall, kemungkinan karena kegiatan dari HLIs sangat tidak jelas dan strategi perdagangan mereka selalu berubah. BCBS juga melihat adanya tekanan kuat bersifat kompetitif sebagai suatu alasan kenapa beberapa bank mengkompromikan elemen elemen penting dari proses manajemen risiko untuk menyetujui kondisi kredit dengan mudah. Juga, umumnya bank tidak melaksanakan stress test terhadap eksposure mereka terkait dengan HLIs serta tidak memutakhirkan secara berkala informasi yang mereka terima dari HLIs.

BCBS memberikan rekomendasi bahwa sebelum menetapkan suatu hubungan kredit dengan suatu HLI, suatu bank hendaknya meyakini bahwa semua informasi yang relevan diungkapkan pada waktu yang sesuai secara terus menerus. Tercakup disini profil likiditas HLI, perubahan strategi perdagangan secara umum, perubahan yang signifikan terhadap leverage serta perkembangan profit and loss. Laporan yang sama juga menyarankan bank agar memperbaiki cara menetapkan limit kredit bagi HLIs. Limit limit tersebut hendaknya ditetapkan dan sebagai cerminan dari risiko yang diasosiasikan dengan pencairan dalam waktu dekat dari posisi derivatif , jika nasabah ingkar janji (default).

Pemikiran pemikiran Basel Committee menggema dalam “Report of President’s Working Group on Financial Market on Hedge funds, Leverage, and the Lessons of Long Term Capital Management “ (1999). Pelajaran utama yang diperoleh dari episode LTCM (Long Term Capital Management) adalah bagaimana membatasi kelebihan leverage, tidak hanya dengan hedge funds tetapi juga semua partisipan dalam sistem keuangan. Laporan tersebut mencatat, “ ekonomi kita yang berbasis pasar , terutama dipercayakan pada disiplin pasar untuk membatasi leverage .... dalam kasus LTCM , disiplin pasar sepertinya sebagian besar akan runtuh. Kehancuran dalam disiplin pasar akan dimungkinkan oleh kelemahan kelemahan dalam manajemen risiko pada LTCM sebagai mana bank-bank besar dan perusahaan sekuritas dimana LTCM menjadsi counterparty (nasabah) . Banking regulator di Amerika Serikat sudah mengeluarkan peringatan agar pemeriksa-pemeriksa mereka memperhatikan butir-butir berikut ini :

o Direksi dan Dekom harus memahami kekuatan dan kelemahan sistem pengukuran risiko mereka, termasuk model pengukuran risiko, risiko likiditas , dan risiko terhadap hubungan historis antara berbagai instrumen dan pasar.
o Direksi dan Dekom harus mempunyai suatu asesmen yang realistis terhadap toleransi mereka terhadap kerugian dalam pasar yang memburuk
o Saling hubungan antar risiko material , termasuk risiko pasar, kredit , risiko ikiditas diperlukan untuk diintegrasikan kedalam keputusan manajemen risiko.

Basel Committe juga merilis pedoman khususnya bagi manajemen risiko sukubunga ; “ Principle for the Management of Interest Rate Risk” berisikan 11 prinsip-prinsip yang harus diterapkan oleh otoritas jika melakukan asesmen terhadap manajemen risiko sukubunga bank. Seberapa jauh suatu bank menerapkan elemen-elemen ini tergantung pada ukuran dan kompleksitas dan sifat dari bisnis bank serta eksposure dari risiko suku bunga.

Komite Basel meyakini bahwa risiko suku bunga perlu dipantau secara konsolidasi basis, meliputi eksposure suku bunga pada subsidiaries. Pada waktu yang sama, institusi hendaknya menyadari benar perbedaan hukum dan kemungkinan rintangan pergerakan cash flow diantara afiliasi dan menyesuaikan proses manajemen risiko mereka sebagaimana mestinya. Walaupun konsolidasi dapat menyediakan suatu pengukuran yang komprehensif tentang risiko sukubunga, namun dapat terjadi under estimate risiko jika posisi pada suatu perusahaan afiliasi digunakan untuk meng-offset posisi pada suatu afiliasi yang lain. Hal ini karena suatu accounting konsolidasi memungkinkan melakukan offset secara teori antara suatu posisi dimana posisi tersebut tidak menguntungkan bagi bank karena batasan batasan legal operasional. Laporan tahun 1997 lebih spesifik dari laporan 1994 dan menyarankan cara-cara dalam mengukur risiko sukubunga., karena pengendalian risiko sukubunga yang hati hati merupakan syarat dalam suatu sistem pengukuran yang sehat. Komite Basel meyakini bahwa suatu sistem pengukuran risiko sukubunga harus mampu melakukan asesmen terhadap akibat dari perubahan rate baik pada risiko sukubunga maupun pendapatan yang dilaporkan serta nilai ekonomi dari aset bank, hutang dan posisi off balance sheet.


Laporan The Bank of England tentang kolapsnya Barings mengilhami rekomendasi dari G-30 dan BCBS dan IIOSCO dalam laporan laporan mereka. Seksi 10 dan 11 pada “Report of the Board of Banking Supervision inquiry into the Circumtance of the collapse of Barings” (1995) mengilustrasikan dengan jelas logika praktik setiap pengendalian risiko yang disebar luaskan oleh laporan-laporan tersebut diatas. Dengan melaksanakan hal itu, laporan tentang Barings menjawab semua keraguan tentang ke absahan rekomendasi pengendalian risiko yang dibuat oleh BCBS, the IOSCO serta the “Future and Industry Association “. Laporan tersebut juga menekankan bahwa esensi dari pengendalian risiko adalah ‘akal sehat’ (plain common sence), dan bukan teknologi atau ilmu sihir. Dua pelajaran pertama untuk manajemen diungkapkan dalam penyelidikan adalah : (a) Tim manajemen punya kewajiban untuk memahami bisnis yang mereka kelola . (b) Tanggung jawab bagi setiap kegiatan bisnis harus ditetapkan dan dikomunikasikan dengan jelas. Kedua prinsip tersebut berlaku pada semua bisnis , tidak hanya pada lembaga keuangan.

G-30 mengemukakan bahwa kegagalan Barings dan kerugian perdagangan pada Morgan Grenfell dan Sumitomo Corporation sebagai pembuktian perlunya suatu cara pendekatan pengawasan yang baru kepada institusi-institusi global. Diyakini bahwa porsi terbesar masalah pada perusahaan keuangan timbul dari problem dimana organisasi tidak mampu mengawasi dirinya sendiri. Hal ini kelihatannya tidak masuk akal mengharapkan Otoritas Pengawasan bekerja sendirian untuk menjaga lembaga keuangan global dari kecelakaan. Laporan tentang Risiko Sistemic Internasional , “Global Iinstitution , National Supervision and Systemic Risk” (1997) , ber-argumen bahwa lembaga-lembaga keuangan utama harus mengambil peran memimpin pengembangan kerangka kerja global untuk pengendalian manajemen yang komprehensif dan efektif dengan berkerja sama dengan otoritas pengawasan.

Kerangka kerja dimaksud hendaknya mempertimbangkan volatilitas pasar dan perbedaan kompleksitas dan geografi institusional. Tantangan terbesar diarahkan pada ‘kebiasaan pada pengambilan risiko risiko yang tinggi ‘ . Mengingat tidak ada kode etik yang menghilang-kan kecendrungan itu, sistem pengendalian pada institusi sekurang-kurangnya harus ditujukan untuk mengecek ekses dari sifat manusia dengan membentuk suatu sistem siaga internal yang dapat memberikan sinyal peringatan dini terhadap sifat-sifat dimaksud. Pengendalian harus dapat menahan shocks dari eksternal dan kesusakan internal.

Suatu sistem pengendalian intern membutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk:
o Menggaji dengan baik, mendukung dan mempertahankan pegawai melalui sistem manajemen dengan pelatihan yang sesuai dengan latar belakang ‘trading , modelling , information technology dan skill lainnya tang dibutuhkan.
o Invest pada sistem pemantauan risiko global , mencakup model-model risiko yang rumit , kapasitas komputer dan komunikasi untuk menangani volume besar dan kecepatan transaksi yang tinggi dalam kompleksitas keuangan dan hukum mereka.
o Menetapkan suatu struktur manajemen serta mekanisme check & balances , misalnya antara front office dengan back office , dengan lebih banyak tanggung jawab langsung kepada komite audit yang bersangkutan
o Mengadopsi suatu pendekatan yang lebih sophisticated terhadap risiko kredit, risiko operasional , manajemen jaminan (kolateral) dan disiplin lain yang berkaitan.
Daftar tersebut menekankan bahwa pengendalian efektif dan komprehensif tidak hanya tentang skill dan technologi, namun juga menyangkut budaya dalam berorganisasi .


“Framework for Voluntary Oversight” (1995) , yang ditulis oleh the Derivatives Policy Group, juga memuat suatu seksi tentang best practices untuk pengendalian risiko. Grup ini meyakini bahwa rancangan dan implementasi dari suatu sistem yang efektif dalam pengendalian risiko hendaknya mencerminkan pentingnya perusahaan. Namun , semua sistem pengendalian risiko harus mempunyai ‘badan otorisasi pada tingkatan yang tinggi’ yang memberikan pedoman kepada perusahaan. Pedoman harus diarahkan , antara lain :
1. cakupan dan kegiatan otorisasi atau suatu batasan yang tidak bersifat kuantitatif dalam kegiatan otorisasi
2. pedoman kuantitatif mengelola perusahaan secara overall termasuk eksposur risiko
3. elemen-elemen yang signifikan dari pemantauan risiko, sistem dan proses manajemen risiko perusahaan.
4. cakupan dan frekwensi laporan oleh manajemen tentang eksposure risiko dan mekanisme untuk mengkaji ulang pedoman ini. Anggota yang punya hak otorisasi haruslah diseleksi oleh Dekom perusahaan atau lembaga setingkatnya . Menyangkut antara lain , komposisi dan keahlian dari anggota komisaris , alokasi dan penetapan tanggung jawab diantara anggota direksi perusahaan, serta sifat , cakupan dan kompleksitas dari kegitan perdagangan perusahaan.

Beberapa dokumen pengendalian risiko menetapkan terget tertentu. Masukan yang penting dari laporan 1995 oleh komite technik IOSCO adalah untuk menguji implikasi ketentuan sekuritas tentang model value at risk. Namun, “ The Implication for Securities Regulations of the Increased Use of Value At Risk Models by Securities Firms” juga berisikan seperangkat best practice bagi lembaga keuangan untuk diimplementasikan jika menggunakan model. Best practice ini mencakup rekomendasi perlunya intergritas data dan rekonsiliasi, asumsi-asumsi dan parameter dari model dan lingkunagan operasinya, kaji ulang yang independen tentang perhitungan harga , backtesting secara berkala dan pemahaman bagaimana pengaruh model pada proses pengambilan keputusan.

Termotivasi oleh kepedulian terhadap eksposur eksposur besar yang dihasilkan dari penyelesaian mata uang (currency settlements), Bank for International Settlements (BIS) menjadi komisi bagi pembuatan suatu laporan tentang bagaimana mengurangi ‘risiko penyelesaian’ (settlement risk). Suatu laporan yang disajikan oleh “Committee on Payment and Settlement System” yang dirilis tahun 1997 menghimbau kepada bank-bank secara individu dan grup-grup industri untuk menggunakan alat mekanisme yang ditujukan bagi risiko penyelesaian (settlement risk). Lampiran 2 dari laporan tersebut berjudul “ Settlement Risk in Foreign Exchange Transaction” berisikan ringkasan dari best practices untuk pengendalian risiko penyelesaian . Enam belas rekomendasi , digambarkan oleh The New York Foregn Exchange Committee, mulai dari hal yang mendasar seperti pengertian proses penyelesaian (settlement process) dan eksposur untuk menetapkan limit penyelesaian eskposur secara prudent yang harus dijadikan arahan. Eksposur ini harus dimutakhirkan secara on line dan digabungkan secara global melalui semua dealing centers. Bank hendaknya juga berinisiatif untuk mereview hubungan dengan bank koresponden untuk meyakini bahwa pelayanan yang mereka terima memberikan mereka pengendalian maksimum terhadap rekening nostro mereka. Rekonsiliasi terhadap semua transaksi harus dilengkapi sedini mungkin dan direksi hendaknya menetapkan prosedur untuk mengevaluasi pembayaran-pembayaran yang tidak diterima dan untuk meningkatkan kewaspadaan bagi semua pihak yang terkait terhadap situasi problematik yang potensial.

Laporan lain yang disampaikan oleh komite yang sama menguji perjanjian kliring untuk perdagangan derivatif dalam negara G-10. “Clearing Arrangements for Exchange Traded Derivatives“ (1997) mendiskusikan sumber-sumber dan tipe-tipe dari risiko bagi lembaga kliring dan teknik-teknik pengendalian risiko yang dapat mereka gunakan untuk membentengi diri mereka terhadap risiko-risiko dimaksud. Dua risiko utama yang didiskusikan adalah : (a). cidra janji (default) oleh anggota kliring. (b) kegagalan dari bank penyelesai (settlement banks). Cara yang paling mendasar untuk memproteksi diri dari kedua risiko adalah dengan melakukan deal hanya dengan counterparty yang dipercaya. Hal ini mudah dikatakan dari dilaksanakan. Sebagaian besar lembaga kliring menginginkan counterparty mereka dan anggota kliring minimal.memenuhi persyaratan-persyaratan keuangan, termasuk minimum capital requirements (CAR). Namun informasi tentang kepatuhan terhadap ketentuan penyediaan modal minimum hanya tersedia secara berkala. Dilain pihak profil risiko dari anggota kliring dapat berubah secara dramatis dalam periode dua laporan CAR berkala itu. Lembaga kliring diharapkan dapat melakukan pengawasan secara on going basis.

Pengamanan pengendalian risiko lainnya mencakup : (i) kebutuhan margin sebagai jaminan bagi eksposur kredit yang akan datang, dan jaminan lainnya bagi eksposur kredit saat ini , atau limit pembentukan eksposur dengan memper-hitungkan keuntungan dan kerugian . (ii) prosedur yang mengizinkan resolusi segera menetapkan default kepada suatu anggota kliring melalui penutupan rekeningnya dan mentransfer (kepada anggota kliring lainnya yang tidak deafault) atau menutup semua posisi anggota ini. (iii) mempertahankan sumber sumber penopang lembaga kliring (capital , assets pool, credit lines , guarantees, atau otoritas untuk melakukan asesmen kepada anggota yang tidak default) untuk menutup kerugian yang melebihi nilai kolateral margin dari anggota yang default dan untuk menyediakan likiditas selama periode pencairan nilai kolateral tersebut.
Beberapa lembaga kliring mengurangi risiko kegagalan penyelesaian dengan strukturisasi perjanjian yang meminimalisasi potensi kerugian lembaga kliring dan tekanan likiditas jika terjadi kegagalan. Dalam perjanjian tersebut , transfer antara anggota kliring dengan lembaga kliring melalui rekening masing-masing anggota, efektif secara simultan dan bersifat final. Juga transfer dana antara bank peserta efektif sesegera mungkin. Secara bersama-sama langkah ini dapat mengurangi secara substansial jumlah dan durasi dari eksposur lembaga kliring kepada setiap anggota kliring.


Lihat juga bacaan bacaan yang berikut ini :
• Derivatives: Practices and Principles (1993)
• Risk Management Guidelines for Derivatives (1994)
• Report of the Board of Banking Supervision inquiry into the Circumstances of the collapse of Barings (1995)
• Framework for Voluntary Oversight" (1995)
• The Implications for Securities Regulators of the Increased Use of Value At Risk Models by Securities Firms Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions (1995)
• Clearing Arrangements for Exchange-Traded Derivatives (1997)
• The Year 2000: A Challenge for Financial Institutions and Bank Supervisors (1997)
• Principles for the Management of Interest Rate Risk (1997)
• Framework for the Evaluation of Internal Control Systems (1998)
• Fit and Proper Principles (1998)
• Risk Management and Control Guidance for Securities Firms and their Supervisors (1998)
• Banks' Interactions with Highly Leveraged Institutions (1999)
• Sound Practices for Banks' Interactions with Highly Leveraged Institutions (1999)
------------------0000---------------------