4.5.09

KAJI ULANG MANAJEMEN RISIKO NILAI TUKAR
 (FX RISK MANAGEMENT REVIEW)

Oleh  :    Z.   D u n i l

              Risiko Nilai Tukar

Pengertian  Risiko Nilai Tukar :

Risiko Nilai Tukar adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan  dari nilai tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka.
Risiko Nilai Tukar merupakan risiko inherent dalam semua posisi atau transaksi  dalam fx (foreign exchange). Dengan demikian pemilik dari risiko nilai tukar  adalah setiap satuan kerja yang terlibat dalam kegiatan pembentukan posisi maupun satuan kerja yang terlibat dalam pelaksanaan transaksi fx. Satuan kerja tersebut terdiri dari Satuan Kerja Tresuri (Terasury Department/Division) , Credit Department khususnya dalam pemberian kredit dalam valuta asing , International Division  di Kantor Pusat bank dan Internationan Trade and Services Department (Bagian Eksport/Import dan Jasa Valuta Asing) di Cabang-Cabang serta unit penjualan dan pembelian valuta asing di semua gerai bank.

Komando atas pengelolaan risiko fx dalam perbankan pada umumnya dipegang oleh Treasury Department, yang disamping mengatur penetapan nilai tukar bagi transaksi seluruh satuan kerja bank, departemen ini juga mengatur likiditas valuta asing bagi bank secara overall.  Karena itu manajemen risiko nilai tukar berada dibawah pengelolaan Treasury Department.

              FX Risk Management

Dalam praktik manajemen risiko, risiko yang melekat pada valuta asing minimal terdiri atas 3 macam risiko , yaitu :

i.         Risiko nilai tukar (Foreign Exchange rate risk).

ii.       Risiko setelmen transaksi valuta asing  (Fx Settlement  Risk). Pilihan terjemahan lain untuk istilah ini adalah ‘ Risiko Penyelesaian Transaksi  Valuta Asing’ atau “Risiko Penyelelaian Nilai Tukar”.  Penulis memilih kata ‘setelmen’ karena tidak terlalu jauh dari kata asingnya ‘settlement’.

iii.      Risiko operasional transaksi Valuta Asing (FX operational Risk).


Istilah ‘foreign exchange’ atau ‘fx’ banyak diterjemahkan sebagai ‘nilai tukar’ dan terkadang diterjemahkan sebagai ‘valuta asing’. Kedua terjemahan tersebut sering digunakan dan bersifat ‘inter changeable’ . Begitu juga penggunaannya dalam tulisan ini kedua terjemahan tersebut sering digunakan dalam berbagai konteks.

Risiko setelmen transaksi valuta asing (fx) sebenarnya dapat juga dikelompokkan sebagai risiko operasional, namun mengingat  risiko setelmen transaksi fx cukup spesifik  perlu  dibahas tersendiri agar dapat dipahami secara lebih baik.

 Apabila terdapat tagihan Bank dalam valuta asing baik sebagai akibat pemberian kredit maupun  portofolio surat berharga maka risiko kredit merupakan risiko utama disamping tagihan tersebut dapat pula mengandung 3 (tiga) macam risiko yang dikemukakan diatas.  Berbeda dengan risiko-risiko utama lainnya dimana Bank for International Settlement memberikan guidance dalam bentuk prinsip-prinsip manajemen dalam pengelolan  risiko kredit, risiko suku bunga, risiko likiditas serta risiko operasional, pada fx risk  BIS tidak memberikan prinsip prinsip mnajemen pengelolaan risiko fx maupun sound / best practices. 

Namun Bank for International Settlement (BIS) memberikan guidance kepada Banking Supervisor (Otoritas Pengawasan Bank) dalam melaksanakan supervisi terhadap pelaksanaan setelmen transaksi fx bank.  Petunjuk-petunjuk BIS tertuang dalam paper BIS berjudul  Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions”  diterbitkan pada September 2000.

Sebaliknya Bank Indonesia telah banyak memberikan petunjuk tentang risiko nilai tukar dalam lampiran SEBI No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 yang  menjadi pedoman bagi bank dalam mengelola risiko nilai tukar.
Tentang risiko operasional sebagai risiko inherent dalam transaksi fx , petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari Bank for International Settlement maupun dari Bank Indonesia sifatnya sangat umum, sehingga dalam praktik masih perlu dijabarkan lagi secara detil agar bank cukup aman menghadapi  risiko operasional dalam transaksi fx.

Namun demikian khusus bagi pelaku transaksi fx di Amerika Serikat, suatu FX Committee yang merupakan bagian dari Fed New York (Federal Reserve Bank of New York) telah memberikan guidance dalam bentuk 60 Best Practices kepada Market Participants nya dalam  :  Management of  Operational Risk in Foreign Exchange “ diterbitkan oleh “The Foreign Exchange Committee “  November 2004. Guidance ini cukup detil dan dipakai oleh market participant yang disupervisi oleh Federal Reserve Bank of New York (Fed. New York) dalam pelaksanaan transaksi fx mereka.

Guidance yang diberikan cukup baik untuk dipakai sebagai acuan sekurang-kurangnya   sebagai pembanding bagi pelaksanaan transaksi fx bagi perbankan tentunya dengan menyesuaikannya dengan sistem dan administrasi transaksi fx pada perbankan di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas , maka review atas risiko inherent terhadap valuta asing yang terdiri atas 3 macam risiko tersebut diatas sedapat mungkin  dilakukan dengan berpedoman kepada 3 macam guidance tersebut dengan dimana perlu menyesuaikannya dengan kondisi aktual bank yang direview. Selain ketentuan yang sudah ditetapkan secara tegas dalam Peraturan / Surat Edaran Bank Indonesia yang harus dilaksanakan oleh perbankan, maka guidance lainnya baik dari BIS maupun best practices seperti model FX Committee dari Fed New York bukan merupakan keharusan, namun perlu dipertimbangkan sebagai best practices yang disesuaikan dengan kebutuhan, ukuran dan jenis transaksi fx yang dilaksanakan bank.

Kaji Ulang Manajemen Risiko Nilai Tukar pada kesempatan ini hanya menilai pelaksanaan Manajemen Risiko Nilai Tukar  dihadapkan dengan ketentuan yang sudah ditetapkan Bank Indonesia dan Guidance yang diberikan oleh Bank for International Settlement.  Jadi , tidak dikaitkan dengan best practice sebagaimana diberikan oleh  FX Committee dari Fed New York.

              Kaji Ulang Manajemen Risiko Nilai Tukar. (Foreign Exchange Risk Management Review ).

Kaji ulang atas pelaksanaan manajemen risiko terhadap risiko nilai tukar adalah untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok sebagai berikut :

I.                   Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit

          .  Apakah bank sudah  memiliki kebijakan dan prosedur yang komprehensif dan tertulis untuk mengelola risiko nilai tukar ?.

 Kriteria :   (Lampiran SEBI. No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003
                                        III.2.c)

1)  Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang komprehensif dan tertulis untuk mengelola risiko nilai tukar.

2) Kebijakan dan prosedur tersebut harus menetapkan dan menguraikan garis tanggungjawab dan akuntabilitas yang melampaui keputusan pengelolaan risiko nilai tukar dan harus secara jelas mencakup instrumen yang diotorisasi, strategi lindung nilai dan peluang pengambilan posisi.

3)  Kebijakan risiko nilai tukar juga harus mengidentifikasi parameter kuantitatif yang menggambarkan tingkat risiko nilai tukar yang dapat ditolerir Bank (risk tolerance).

4)  Seluruh kebijakan dan prosedur risiko nilai tukar harus dikaji secara berkala dan direvisi apabila diperlukan, terhadap kemungkinan adanya peningkatan kegiatan akibat kondisi pasar keseluruhan, khususnya  apabila terdapat larangan oleh otoritas pengawasan untuk melakukan ransaksi terhadap mata uang tertentu, baik oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko maupun satuan kerja audit intern, serta pihak  eksternal yang memiliki kompetensi dalam penerapan manajemen risiko suku bunga.
5)     Prosedur yang diterapkan oleh Bank harus mampu untuk melakukan
konsolidasi terhadap open positions, baik berdasarkan netto maupun gross, pada setiap posisi yang dimiliki, dan harus memungkinkan untuk melakukan perhitungan secara akurat mengenai open position harian.

6) Bank harus menetapkan limit internal Net Open Position (NOP) secara konsisten dalam rangka mencegah terjadinya pelampauan batasan yang ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku terutama dalam hal seluruh limit internal yang ditetapkan telah digunakan.

7)      Limit yang ditetapkan dalam kegiatan transaksi perdagangan FX currencies dan instrumen yang berdenominasi FX currency harus konsisten dengan kebijakan pengambilan risiko secara keseluruhan, dan dapat dikonsolidasikan serta mencakup seluruh unit usaha Bank yang memiliki posisi risiko pada FX currency.

II.    Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Sistem Informasi
        Manajemen Risiko Nilai Tukar


1.      Apakah bank sudah melakukan identifikasi secara tepat terhadap aset, transaksi derivatif, dan instrumen keuangan lain yang mengandung risiko nilai tukar ?.

Kriteria  :     (Lampiran SEBI. No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003
                                      III.2.d.1)

Bank wajib melakukan identifikasi secara tepat aset, transaksi derivatif, dan instrumen keuangan lain yang mengandung risiko nilai tukar baik pada aktivitas fungsional tertentu maupun aktivitas Bank secara keseluruhan.

2.      Apakah bank telah melakukan Pengukuran Risiko Nilai Tukar sesuai ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia ?.

Kriteria  :     (Lampiran SEBI. No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003
                                      III.2.d.2)

Pengukuran Risiko Nilai Tukar  :

a)   Dalam menilai eksposur risiko nilai tukar yang melekat pada beberapa aktivitas fungsional, Bank sekurang-kurangnya dapat mengukur beberapa parameter, antara lain:

(a.1).   coverage potential loss karena fluktuasi nilai tukar, dari sisi
   penanaman dana termasuk transaksi rekening administratif;

(a.2).   potential loss karena fluktuasi nilai tukar, dari sisi penghimpunan
  dana termasuk komitmen pada transaksi rekening administratif.

b)    Disamping parameter tersebut di atas, dalam pengukuran risiko nilai tukar maka Bank harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

(b.1)     Faktor Struktural, yang meliputi:

                                    (b.1.a)   tingkat permodalan Bank yang memperhitungkan risiko nilaitukar sebagaimana yang diwajibkan oleh ketentuan yangberlaku;

(b.1.b)   potensi volatilitas rasio permodalan Bank berdasarkan
perhitungan nilai tukar terhadap rekening/posisi dalam
denominasi mata uang asing;

(b.1.c)   eksposur risiko nilai tukar, seperti:

i.                     volume dan stabilitas portofolio yang mengandung risiko nilai tukar;

ii.                   pos pendapatan dan biaya dalam denominasi mata uang asing;

iii.    mismatching antara asset dan liabilities dalam mata uang asing.

(b.2)   Faktor Strategik

    (b.2.a)   efektivitas lindung nilai untuk mengendalikan eksposur risiko nilai tukar, seperti matching arus kas, lindung nilai pendapatan yang diproyeksikan, dan penggunaan kontrak finansial, seperti futures dan options ;

(b.2.b)   volume dan jangka waktu posisi yang berdenominasi mata uang asing;

(b.2.c)    volume dan jangka waktu cross currency mismatches;

    (b.2.d)   dampak perubahan strategi usaha Bank.

(b.3)    Faktor Eksternal, seperti dampak dari kondisi ekonomi , perubahan ketentuan, dan persaingan pasar terhadap eksposur risiko nilai tukar.


3.      Apakah bank telah melakukan pemantauan risiko nilai tukar    sebagaimana keharusan yang ditetapkan Bank Indonesia  ?.

  Kriteria    :   (Lampiran SEBI. No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003
                                         III.2.d.3).

Pemantauan Risiko Nilai Tukar:

a)    Bank sekurang-kurangnya mengevaluasi dan mengkalkulasi secara
keseluruhan setiap transaksi agar jumlah keseluruhan eksposur risiko nilai tukar dapat dipantau setiap saat.

b)    Bank harus melakukan pemantauan terhadap kepatuhan limit secara
harian, pelampauan limit, dan tindak lanjut mengatasi pelampauan
tersebut, yang selanjutnya pelampauan serta tindak lanjut tersebut
dilaporkan secara harian kepada Direksi atau pejabat terkait, sesuai
kewenangan yang diatur secara intern.

4.      Apakah Sistem Informasi Manajemen Risiko Nilai Tukar telah memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia?.

Kriteria   :  (Lampiran SEBI. No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003
                                    III.2.d.4).

              Sistem Informasi Manajemen Risiko Nilai Tukar:

a)  Sistem informasi harus dapat memantau perubahan nilai tukar secara harian serta pengaruh dari perubahan tersebut terhadap pendapatan dan permodalan Bank.

b)  Bagi Bank yang aktif melakukan kegiatan derivatif dan perdagangan instrumen keuangan lainnya khususnya dalam denominasi mata uang asing, sekurang-kurangnya memiliki sistem yang mampu memantau eksposur risiko nilai tukar dan pergerakan nilai tukar secara harian, serta mengembangkan sistem tersebut sehingga pergerakan dimaksud dapat dipantau secara real time basis .

c)     Satuan Kerja Manajemen Risiko bertanggung jawab menyusun dan
mendistribusikan laporan secara akurat dan tepat waktu, mengenai:
(c.1)    keuntungan dan kerugian dari eksposur risiko nilai tukar;
(c.2)    sensitivitas eksposur terhadap kerugian sebagai dampak dari
                                  perubahan nilai tukar di pasar;
(c.3)   potensi kerugian yang dapat terjadi karena perubahan nilai tukar  di pasar.

d)     Satuan Kerja Manajemen Risiko harus mengkaji secara berkala
kecenderungan perubahan nilai tukar atau kemungkinan terjadinya tekanan pasar. Hasil kajian tersebut selanjutnya disampaikan kepada
Komite Manajemen Risiko dan Direksi sebagai bahan evaluasi untuk
meninjau kembali eksposur risiko nilai tukar yang ada dan limit yang
ditetapkan.


II.                Pengendalian risiko nilai tukar:

  Apakah bank telah melaksanakan Pengendalian Risiko Nilai Tukar sebagaimana digariskan bank Indonesia ?.

     Kriteria : (Lampiran SEBI. No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003
                        III.2.e).

Pengendalian risiko nilai tukar :

1).  Bank harus melaksanakan pengendalian risiko nilai tukar yang bertujuan untuk:

1.a)      melindungi nilai keuntungan dalam denominasi FX dan atau biaya
dan kerugian dalam denominasi FX terhadap pergerakan yang
berlawanan dari FX currency rates;

1.b)     mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan pemilihan strategi
lindung nilai yang tepat terhadap penyediaan dana dan transaksi
yang mencakup eksposur risiko kredit dalam FX currencies;

1.c)      memprioritaskan pembentukan provisi dalam FX currencies yang
    ekuivalen dalam jumlah mata uang domestik.

2)    Aktivitas fungsional atau satuan kerja Bank yang tidak memiliki limit
posisi FX currency tidak diperkenankan untuk melakukan transaksi
dengan risiko FX currency, sehingga posisi yang tidak memiliki otorisasi dapat segera diidentifikasi dan diatasi permasalahannya.

3)      Pengendalian risiko nilai tukar yang tepat harus ditetapkan dan diterapkan secara efektif dalam rangka memenuhi batasan dan persyaratan yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.

              Kaji Ulang Manajemen Risiko Setelmen Transaksi FX.
            (FX Settlement Risk Management Review )


Berdasarkan guidance yang diberikan Bank for International Settlement (BIS)  kepada Banking Supervisor (Otoritas Pengawasan Bank), hendaknya dipahami hal-hal yang perlu dilakukan oleh perbankan dalam mengelola fx settlement risk . 
Review yang dilakukan adalah untuk menilai seberapa jauh pelaksanaan pengelolaan fx settlement risk tersebut diimplementasikan oleh bank.

v                 Pengertian Setelmen Nilai Tukar. (FX Settlement Risk).

Bank for International Settlement memberikan pengertian tentang  FX Settlement Risk” sebagai berikut :

1.       Foreign Exchange (fx)  Settlement Risk (Risiko setelmen nilai tukar) adalah risiko kerugian yang dapat terjadi ketika suatu bank dalam suatu transaksi f x telah menyerahkan  currency yang dijualnya tetapi tidak menerima currency yang dibelinya. Kegagalan penyelesaian transaksi fx dapat terjadi karena counterparty default, masalah operasional , keterbatasan  likiditas pasar dan faktor-faktor lainnya.  Settlement risk dapat terjadi pada setiap produk yang diperdagangkan dimana volume  dari Foreign Exchange market membuat transaksi foreign exchange merupakan sumber terbesar dari settlement  risk  bagi kebanyakan pelaku pasar, melibatkan  eksposur harian mencapai miliaran dollar pada bank-bank besar. Sangat penting bagi bank pada berbagai ukuran untuk berhati-hati karena jumlah yang berisiko bahkan kepada hanya  single counterparty dapat melebihi modal bank.

2.       FX settlement risk  (risiko setelmen nilai tukar) adalah suatu bentuk counterparty risk yang mencakup risiko kredit dan risiko likiditas. Sebagaimana bentuk risiko-risiko lainnya, bank perlu meyakini bahwa mereka secara jelas mengerti bagaimana timbulnya suatu settlement risk. Berdasarkan pengertian ini, kebijakan dalam mengelola risiko dikembangkan pada tingkat tertinggi dalam bank dan diimplementasikan  melalui proses formal yang independen dengan pengawasan (supervisi) yang cukup oleh direksi.  Sebagai bagian dari proses ini, bank harus mempunyai sistem pengukuran yang menyediakan estimasi yang sesuai dan realistis terhadap eksposur ‘ f x settlement ’ pada waktu yang tepat (on timely basis). Perkembangan dari ‘ counterparty settlement limit’ dan pemantauan eksposur limit ini merupakan fungsi pengendalian yang kritikal.  Disamping itu, bank juga perlu mempunyai prosedur, bereaksi secara cepat dan seimbang terhadap transaksi transaksi yang gagal atau problem setelmen lainnya.


v                 Sifat daripada FX Settlement Risk .

1.      Jelas bahwa  risiko setelmen fx mempunyai dimensi risiko kredit.  Jika suatu bank tidak bisa membayar sesuai syarat valuta asing yang di jualnya terhadap valuta asing yang sudah diterimanya, maka disini timbul kemungkinan kerugian sebesar nilai pokok dari transaksi.  Dalam praktik, pada umumnya sebagian besar kegagalan  setelmen transaksi fx  terjadi  atau timbul dari kegagalan operasional atau hal yang bersifat rutin. Namun demikian, ada risiko bahwa pihak lawan transaksi (counterparty) cidera janji (default) dan nilai pokok (principal) jadi hilang/rugi.  Karena itu, bank harus memperlakukan eksposur fx secara eqivalen dengan eksposur kredit lainnya dengan ukuran dan durasi yang sama. 

2.      Risiko setelmen fx   juga mempunyai dimensi risiko likiditas yang penting.   Penundaan sementara terhadap setelmen dapat menimbulkan tekanan likiditas pada bank penerima apabila dana yang belum diselesaikan itu diperlukan bagi pembayaran kewajiban  kepada pihak lain.  Eksposur likiditas seperti itu dapat terjadi dalam berbagai transaksi  dan jumlahnya bisa sangat besar dimana bank harus segera mencari sumber pengganti secara cepat terutama dalam kedaan pasar sedang bergejolak (turbulense)

3.      Risiko setelmen fx juga mempuyai dimensi lain..  Misalnya , risiko hukum - dalam hal ini  adalah risiko kesulitan hukum, dapat berasal dari risiko kredit atau risiko likiditas  yang dihadapi bank sebagai akibat dari kegagalan suatu setelmen. Dalam suatu kasus, kesepakatan transaksi fx, risiko hukum dapat menjadi rumit karena  fakta bahwa setelmen pada umumnya terjadi pada lebih dari satu negara (yirisdiksi).  Selain itu terdapat pula dimensi risiko sistemik (sistemic risk ), dimana suatu pihak tidak mampu menyelesaikan karena akibat sistemik kegagalan suatu bank lain. Volume  eskposur fx  beberapa bank  secara relatif dikaitkan dengan permodalannya  dapat menimbulkan bahaya bahwa kegagalan  dari suatu  pihak lawan transaksi (counterparty) bisa menyebabkan suatu bank menjadi insolvent.

4.      Skala dan sifat dari  risiko setelmen fx  sebagiannya tergantung pada  metode setelmen itu sendiri.  Saat ini umumnya setelmen dilakukan secara ‘gross’ , artinya setiap ‘deal’ . diselesaikan secara individual  melalui pembayaran yang dilakukan via koresponden bank atau melalui cabang bank dari pihak lawan transaksi (counterparty) dalam mata uang (currency) yang bersangkutan.  Petunjuk yang diberikan dalam paper BIS dipusatkan pada risiko yang timbul dari setelmen secara gross kerena melalui  pemahaman bagaimana  risiko ini harus dikelola  merupakan prasyarat  untuk memahami metode-metode setelmen lainnya.  Pada saat ini , alternatif metode setelmen nilai pokok (principal)  adalah menggunakan bilateral netting (perjanjian penyelesaian secara netto). Pada masa yang akan datang ada kecendrungan bahwa tersedia metrode lain dalam setelmen.termasuk metode setelmen yang dikembangkan oleh CLS Bank.  Seksi terakhir dari petunjuk BIS juga memberi perhatian terhadap implikasi dari metode alternatif tersebut terhadap Manajemen Risiko.

Catatan penulis   tentang CLS Bank.
Continuos Link Settlement (CLS) Bank adalah suatu ‘Special Purpose Bank’  yang menyediakan suatu jasa ‘continuos link settlement’ yang secara simultan menyelesaikan (settle) pembayaran kepada kedua pihak yang bertransaksi dalam valuta asing (fx). Jasa ini merupakan inisiatif swasta yang dirancang untuk meng-eliminasi risiko yang dapat terjadi jika salah satu ‘leg of fx’  diselesaikan secara terpisah,  dalam hal ini  suatu pembayaran sudah dilakukan namun pembayaran dari pihak lain tidak diterima.
Saat ini, suatu CLS  Bank yang cukup aktif dan dikenal internasional adalah “CLS Bank International” yang berkedudukan di New York dibawah supervisi “Federal Reserve Bank of New York” . Bank ini merupakan suatu ‘ multi currency bank’ yang memegang rekening untuk setiap ‘Settlement Member’ (umumnya bank atau korporasi ) serta suatu rekening untuk “eligible currency’s Central Bank” melalui mana dana-dana diterima dan dibayarkan.  Sementara ini CLS Bank International men-settle 17 jenis mata uang termasuk Euro, Pound Sterling,  Danish Krone dan Swedish Krona. Rupiah belum termasuk.


v                     Kaji ulang pelaksanaan manajemen ‘risiko setelmen nilai tukar’.    
             (FX risk settlement management review )

I.                   Durasi eksposur setelmen nilai tukar.  (Duration of  FX settlement exposure).
 
            Apakah bank sudah mempunyai ketentuan tentang ‘cancellation date line’ atas transaksi fx dalam melaksanakan transaksi fx ?

                Kriteria  :  (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi IV , paragraph 12 s/d 15)

§        Pembayaran-pembayaran terkait dengan FX  umumnya dilakukan melalui 2 (dua) tahapan utama. Pengiriman payment order dan pemindahan dana secara aktual .   Perlu dibedakan dua tahapan ini ; yang pertama adalah suatu instruksi untuk melakukan pembayaran. Sedangkan yang kedua adalah pertukaran antara debit dan kredit antar rekening rekening koresponden  dan rekening Bank Sentral dimana suatu currency dilibatkan.  Langkah pertama umumnya akan efektif dalam satu atau dua hari sebelum tanggal setelmen (walaupun ada variasi , tergantung pada currency dan institusinya), sementara langkah kedua  tergantung pada tanggal settlement itu sendiri.

§        Suatu eksposur risiko setelmen (settlement risk) bank timbul sejak bank mengeluarkan payment order terhadap currency yang dijualnya tidak dapat dibatalkan lagi ( penetapan bank tentang batas waktu pembatalan), dan berakhir pada saat currency yang dibeli diterima secara lengkap. Jangka waktu ini disebut sebagai ‘durasi’ dari eksposur. Hal ini tidak mengungkapkan apa-apa tentang probabilitas kegagalan dan tingkat risiko yang dihadapi bank selama periode tersebut.  Asesmen terhadap probabilitas kegagalan dan tingkat risiko dapat berubah selama waktu dana itu outstanding, tergantung pada informasi yang tersedia serta kredibilitas dari counterparty atau status dari dana yang sudah waktunya harus diterima bank. Tentu hal ini normal pada suatu eksposur credit yang outstanding.

§        Untuk mengukur dan mngelola eksposur f x  mereka , bank perlu menetapkan secara pasti batas waktu kanselasi (cancellation dead line) untuk masing-masing currency.  Diharapkan bank dapat membatalkan ‘payment order’ sampai pada saat dana secara final dibayarkan kepada counter party. Namun dalam praktik koresponden dan sistem pembayaran sebagaimana perjanjian dan legal operasional, sebelum waktu pembayaran , penting bahwa payment order berlaku efektif dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable).
§        Faktor kunci dalam menetapkan ‘deadline cancellation’ adalah, saat terakhir suatu koresponden dapat memberikan jaminan atas suatu ‘permintaan pembatalan’ (cancellation request) yang memuaskan. Dokumentasi terhadap perjanjian layanan koresponden harus menetapkan ‘cut off time’ dari pembatalan. Dokumentasi ini penting karena, dalam keadaan bank ingin membatalkan perintah bayarnya, bank dan korespondennya  masing-masing akan merujuk kepada syarat syarat dalam perjanjian.  Namun demikian , dalam kasus kasus tertentu bank mungkin belum mempunyai perjanjian tertulis atau tidak mencantumkan secara tegas ‘cut off time‘ dalam jaminan pembatalan. Dalam kasus seperti itu, bank harus bernegosiasi dengan korespondennya, yang dapat merubah sifat dari hubungan dengan korespondennya, sehingga kedua pihak perlu kerjasama dalam mengelola risiko.

§        Dalam melakukan asesmen terhadap ‘payment cancellation deadlines’ bank harus membuktikan bahwa mereka dapat secara praktik meng-identifikasi dan menahan (hold) pembayaran tertentu dalam batas ‘cut off time ‘ yang dijamin oleh korespondennya, dimana  proses internal dan faktor lainnya dalam praktik mungkin membatasi kemampuan mereka melakukannya. Dalam banyak kasus deadline pembatalan pembayaran sepihak lebih awal dari cut off time yang disepakati, bahkan dalam kasus tertentu lebih awal dari pengiriman payment order kepada koresponden. Pembatalan lebih dini ini dapat terjadi, misalnya, apabila payment order dihasilkan secara  otomatis, namun pembatalan memerlukan intervensi secara manual  untuk melakukannya. Lebih lanjut, berkaitan dengan proses secara otomatis, suatu bank tidak dapat menghentikan (to stop) suatu instruksi pembayaran tanpa menggangu  semua instruksi pembayaran keluar. Mengingat manajemen bank cendrung tidak ingin menunda pembayaran kepada counterparty nya yang baik ( dan bahkan akan minta kompensasi atas penundaan)  dan tidak punya daya untuk membekukan suatu instruksi pembayaran keluar kepada suatu counterparty.  Akhirnya suatu batas waktu (dead line) yang ditawarkan oleh koresponden mungkin jatuh diluar jam kerja, dimana bank memerlukan waktu tambahan agar memenuhi dead line. Mengingat hal ini dan faktor lainnya bank harus mempertimbangkan kembali dan menge-test prosedurnya dengan cabang-cabang dan korespondennya secara simulasi darurat untuk membantu menetapkan batas waktu pembatalan sepihak yang efektif.

II.                Pengukuran eksposur setelmen transaksi fx.  
            (Measurement of  f x settlement exposure).

Apakah bank sudah melakukan pengukuran setelmen transaksi fx sesuai dengan petunjuk  yang ada ?

Kriteria  : (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi V , paragraph 17s/d 24)

§        Durasi aktual dari f x settlement exposure lazimnya merujuk pada suatu periode dimana instruksi pembayaran sudah bersifat irrevocable (tidak dapat dirubah lagi). Apabila transaksi perdagangan diselesaikan secara ‘gross’ , maka nilai nominal dari transaksi adalah besarnya risiko yang dapat terjadi selama periode itu. Apabila hari Minggu dan hari libur termasuk, maka durasi dapat bertambah beberapa hari lagi.

§        Minimum eksposur setelmen f x  bank,  pada suatu waktu spesifik tertentu adalah nilai outstanding dari semua trading yang pembayarannya irrevocable, juga termasuk penerimaan yang gagal( karena per definisi, trading dianggap gagal diselesaikan apabila dana belum diterima ). Mengingat revocable period dapat berakhir dalam beberapa hari, maka  pengukuran  minimum eksposur berarti sama dengan nilai  perdagangan beberapa hari. Dalam situasi seperti ini, bank mungkin berada dalam posisi harus membayar counterparty pada suatu hari, apabila tidak mebayarnya pada hari sebelumnya.

§        Pengukuran eskposur setelmen fx suatu bank perlu mempertimbangkan proses rekonsiliasi pembayaran yang masuk dengan penerimaan yang diperkirakan (expected). Eksposur aktual dari bank berakhir jika currency yang dibeli sudah diterima secara final.  Namun waktu antara penerimaan yang diperkirakan dengan waktu rekonsiliasi merupakan waktu ketidak pastian, dan bank tidak mengetahui pembayaran yang diterima dari counterparty tertentu, apakah itu merupakan pembayaran atas penerimaan yang gagal.  Dalam melakukan pengukuran terhadap eksposur, bank yang pruden akan berasumsi bahwa selama periode tidak menentu itu, dana dianggap tidak diterima. Konsekwensinya maksimum settlement exsposure pada suatu waktu tertentu sama dengan minimum eksposur sitambah dengan nilai dari semua penerimaan yang belum pasti pada periode itu.

§        Perlu dicatat bahwa, periode ketidak pastian  akan berakhir apabila bank memperoleh konfirmasi positif bahwa dana sudah diterima. Suatu konfirmasi positif berarti bahwa bank tidak hanya memperoleh informasi dari korespondennya tentang pembayaran yang sudah dikreditkan pada rekening nostro bank, melainkan juga memproses informasi tersebut untuk menentukan perdagangan mana yang sudah menyelesaikan pembayaran dan mana yang  gagal. Tidak cukup bagi bank untuk mengukur eksposurnya berdasarkan , kalau tidak ada berita ‘default’ dari koresponden berarti aman dan menganggap dana pasti akan diterima.  Sampai dengan saat diterima konfirmasi positif, harus selalu diingat bahwa tetap ada kemungkinan dana tidak diterima dan counterparty melakukan default.

§        Untuk mengukur eksposur setelmen nilai tukar (FX settlement exsposure), bank perlu melakukan identifikasi secara khusus baik batas waktu pembatalan sepihak maupun waktu pelaksanaan proses rekonsiliasi  yang diperlukan untuk setiap currency yang ditransaksikan.  Suatu ukuran eksposur yang pasti harus mencatat bahwa durasi dari eksposur berbeda pada setiap mata uang dan bahwa eksposur bank berubah setiap saat.  Pengukuran yang eksak berguna  untuk menghindari over estimasi sebagaimana under estimasi. Selain itu, proses yang dilibatkan relatif kompleks, karena itu untuk alasan alasan operasional dan sistem, kebanyakan bank tidak melakukan pengukuran secara eksak.  Walaupun digunakan berbagai metode estimasi, namun   kebanyakan bank mendefinisikan dan mengukur eksposur harian mereka berdasarkan total penerimaan yang akan datang yang jatuh tempo saat settlement day.

§        Teknik teknik penaksiran (estimasi) bisa cocok apabila mereka tidak secara signifikan under estimate terhadap eksposur.  Namun dalam praktik, teknik teknik estimasi yang simpel sering under estimate terhadap ‘settlement exposure’.  Menjadi problem apabila eksposur berakhir kurang dari 24 jam, periode ini bisa overlap  lebih dari  satu hari kalendar. Misalnya, periode dapat mulai sore hari sebelum settlement dan berjalan sampai sore sekali, dalam kasus seperti ini melakukan estimasi terhadap eksposur harian  pada saat diterima eksposur, dapat under estimate terhadap eksposur pada sore hari, namun sebagaimana telah dikemukakan diatas, eksposur dapat berakhir lebih dari satu hari.  Metode “simple approximation” untuk menyempurnakan teknik ini, sebagaimana halnya penggunaan “multiple daily trades” mungkin tidak cukup memperhitungkan keragaman  nilai perdagangan harian.

§        Jika teknik estimasi digunakan, manajemen hendaknya dapat menjelaskan bagaimana settlement exposure diukur, termasuk dalam keadaan abnormal,  teknik estimasi tidak secara signifikan under estimate terhadap eksposur.  Teknik estimasi membutuhkan pemahaman bank baik terhadap ‘unilateral cancellation dateline’ maupun waktu proses rekonsiliasi yang dilibatkan dalam setiap transaksi suatu currency.

§        Terakhir, pengukuran terhadap settlement exposure dan risiko terkait harus terintegrasi dengan pengukuran risiko secara overall serta proses manajemen itu sendiri.  Ada kecendrungan yang meningkat bahwa bank menerapkan pengukuran risiko dan alokasi modal secara konsolidasi dan hal ini hendaknya didukung oleh otoritas.  Apabila metodologi itu digunakan, pengukuran yang berkaitan dengan f x settlement risk sudah tercakup dan allokasi modal terkait  transaksi ini sudah tercermin dalam perhitungan.


III.             Penetapan dan penggunaan limit.  (Setting and using limits).

                Apakah bank sudah menetapkan penggunaan limit untuk eksposur risiko setelmen transaksi fx  ?

Kriteria   :   (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi VI , paragraph 25 s/d 26)

§             Bank harus meyakini bahwa eksposur setelmen  pada suatu counterparty sudah berlandaskan prinsip kehati hatian dan sudah melalui proses pengendalian yang cukup, termasuk  evaluasi kredit dan review serta menetapkan maksimum eksposur yang dapat ditolerir  oleh bank terhadap suatu counterparty tertentu.  Melalui proses ini, suatu limit eksposur tertentu harus ditetapkan untuk setiap counterparty.  Setiap limit eksposur harus sudah melalui prosedur yang sama  yang digunakan sebagai alat dalam menetapkan durasi serta ukuran terhadap counterparty yang sama.  Misalnya , dalam hal f x setelmen eksposur suatu counterparty berakhir dalam satu malam (overnight), limit dapat di asesmen  dalam hal bank ingin memberikan penyediaan dana kepada counterparty tersebut juga berdasarkan  overnight (overnight basis). Limit harus didasarkan pada tingkat risiko kredit secara hati-hati dan seharusnya tidak berdasarkan harapan bahwa, tingkat yang tinggi adalah untuk memfasilitasi perdagangan dengan counterparty tersebut.

§        Limit yang diaplikasikan bank terhadap eksposur setelmen nilai tukar (fx settlement exposure ) harus dikaitkan dengan  , misalnya :
Deal atas suatu transaksi fx tidak boleh melanggar ketentuan tentang counterparty limit. Suatu pelampaun dari yang direncanakan harus berdasarkan  persetujuan dari manajer yang bertanggung jawab. Namun dapat saja terjadi pelampauan secara mendadak karena berbagai keadaan terpaksa. Namun apabila terjadi pelampuan  yang sebelumnya sudah diperingatkan, maka sesegera mungkin dilakukan review dan tindakan pelurusan.


IV.          Prosedur dalam mengelola kegagalan dan masalah
(Procedures for managing fails and another problem).

                Apakah sudah mempunyai prosedur dalam menyelesaikan transaksi fx yang gagal ?

Kriteria   :  (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi VII , paragraph 27 s/d 28)

§         Sumber kegagalan pada umumnya dikarenakan kesalahan operasional (operational fails). Kesalahan dapat terjadi karena kurang hati-hati dan dapat dikoreksi dalam waktu yang layak. Dalam suatu kasus tertentu hal seperti ini dapat pula merupakan indikasi adanya suatu masalah yang mendasar, dan dalam hal demikian hendaknya bank secepatnya meng-identifikasi  sebab kegagalan dan segera melakukan tindakan yang sesuai.Tindakan biasanya melibatkan ‘credit department’ kalau menyangkut counter party, dengan demikian pertimbangan dapat disesuaikan dengan tingkat keseriusan permasalahan.  Mengingat suatu kegagalam mencerminkan kesinambungan eksposur terhadap suatu counter party  dalam jumlah penuh dari nilai pokok perdagangan, maka kegagalan dapat mencakup eksposur yang ada serta yang diharapkan (expected).  Bank perlu mengambil langkah agar dapat dilunasi pada jatuh temponya dan menghindari  perpanjangan.

§         Dalam bereaksi terhadap suatu kegagalan atau suatu masalah yang potensial atas suatu settlement fx atas suatu deal (transaksi), bank harusnya berpedoman langsung pada suatu ‘balance approach’.  Apabila muncul suatu masalah dalam ‘underlying credit worthiness problem’ , bank dapat memutuskan sebagai langkah kehati-hatian, mengurangi ‘limit’ bagi counterparty yang bersangkutan.  Dalam kasus yang lebih ekstrim,  untuk melindungi diri dari ‘settlement risk’, perlu menunda pengeluaran/ pembayaran terhadap outstanding deal dengan counterparty yang bersangkutan.atau bahkan (apabila mungkin) membatalkan intruksi pembayaran kepada counterparty tersebut. Namun kegagalan bayar dapat menimbulkan konsekwensi yang serius, dapat dituduh sebagai suatu pelanggaran contract oleh bank dan dapat menimbulkan  masalah likuiditas pada counterparty.  Tindakan itu hanya dapat diambil setelah dipertimbangkan dengan hati-hati dan setelah melakukan segera kaji ulang situasi dan setelah memperoleh pertimbangan dari direksi bank.

V.                 Rencana Darurat.   (Contingency planning).

                Apakah Bank sudah mempunyai rencana darurat dalam setelmen transaksi fx

Kriteria  : (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi VIII , paragraph 29)

Contingency Planning (Rencana Darurat) dan Stress Testing  harus menjadi bagian integral dari prosem manajemen risiko settlement FX .  Contingency Plan  harus dibentuk untuk melengkapi  spektrum yang luas dari stress events, mulai dari kesulitan operasional internal atas kegagalan counterparty sampai kejadian yang terkait dengan pasar secara  umum,  Rencana Darurat yang cukup (adequate) dalam area fx settlement risk mencakup akses  tepat waktu terhadap informasi-informasi kunci mencakup pembayaran yang sudah dilakukan, yang diterima dan masih dalam proses dan pengembangan prosedur untuk mendapatkan informasi  dan bantuan dari institusi koresponden.  Suatu institusi juga harus mempunyai Rencana Darurat yang siap pakai untuk meyakini kesinambungan operasional setelmen transaksi fx apabila sisi produksi  utamanya menjadi tidak berfungsi (tidak dapat digunakan).  Rencana darurat tersebut harus didokumentasikan dan ditunjang oleh kontrak-kontrak dengan outside vendors, dimana para vendors memberikan jasa kepada bank yang diperlukan bank diluar keadaan settlements FX yang  normal  atau dalam kedaan darurat.  Mengingat dalam banyak kasus tindakan yang diambil pada umumnya  serupa, Rencana Darurat terhadap FX settlement risk  harus dikoordinasikan dengan rencana tindak terhadap masalah-masalah lain  (seperti sistem pembayaran, atau kegagalam-kegagalam dalam trading ).  Rencana darurat harus di-test secara periodik.

VI.              Mengembangkan manajemen eksposur setelmen nilai tukar.
(Improving the management of  fx settlement exposure).

                Apakah ada usaha Bank dalam meningkatkan pengelolaan setelmen transaksi fx ?

Kriteria   :  (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi IX , paragraph 30 - 32)

§            Bank harus mengelola eksposurenya secara aktif.  Terdapat beberapa langkah yang memungkinkan bank mengurangi durasi atau besarnya  setelmen eksposur  terkait dengan deal yang dilakukan dalam fx.  Durasi eksposur dapat dikurangi dengan meningkatkan batas waktu (dead line) perjanjian paymen cancellation dengan, misalnya menegosiasikan cut off cancellation yang lebih baik dengan bank koresponden dan melakukan perbaikan terhadap prosedur / proses  internal.
Perlu dicatat bahwa bank tidak mudah semaunya sendiri mengatur penundaan instruksi pembayaran kepada korespondennya untuk memperbaiki periode ‘irevocability’ nya.  Melakukan itu tanpa sepengetahuan bank koresponden dapat meningkatkan risiko operasional pada bank koresponden dan risiko terhadap kesalahan pemrosesan dibandingkan dengan  mendiskusikannya ecara baik-baik dengan bank koresponden.  Bank perlu memperoleh ekspektasi yang realistis hal-hal apa yang dapat dilakukan oleh bank koresponden karena cara terakhir tersebut diatas berakibat terhadap risiko operasional dan risiko likuiditas bagi bank koresponden.  Bank juga harus berhati-hati terhadap kemungkinan risiko likuiditas dalam system pembayaran jika cut off time terakhir untuk cancellation menyebabkan pembayaran transaksi fx yang berkaitan pada akhir hari berakibat buruk bagi likuiditas.

§             Manajemen eksposur yang lebih baik dapat juga dicapai melalui identifikasi penerimaan lebih dini yang menghasilkan pengukuran eksposur mendekati eksposur yang minimum.  Guna mengurangi waktu  untuk mengidentifikasi penerimaan akhir atau gagal bayar, bank perlu mempertimbangkan perbaikan kerjasama dalam penerimaan informasi dari koresponden dan waktu pelaksanaan rekonsiliasi.
Perjanjian penjaminan dan perjanjian ganti rugi juga penting sebagai risk management tool dan dapat mengurangi jumlah eksposur bank pada suatu bank koresponden  untuk suatu tingkat trading tertentu.

VII.           Menggunakan kesepakatan netto.  (Use of bilateral netting).


                Apakah Bank sudah mempunyai / menggunakan kesepakatan netto dengan counterparty ?

Kriteria  : (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi X, paragraph 33 - 38)

§             Bank dapat mengurangi volume eksposur dari suatu counterparty dengan mengikatnya melalui suatu perjanjian (agreement) dengan melakukan net payment  secara  bilateral. Perjanjian tersebut memungkinkan bank melakukan offset perdagangan satu sama lain, sehingga hanya jumlah net masing-masing currency nya saja yang dibayar atau diterima oleh masing-masing institusi. Netting arrangement seperti itu dapat menjadi standard agreement secara bilateral dan menjadi induk perjanjian pada industri keuangan yang melindungi transaksi fx bagi kedua belah pihak.

§             Tergantung pada pola perdagangan, pembayaran net (payment netting) secara bilateral dapat secara signifikan mengurangi jumlah nilai currency yang diselesaikan.  Disamping itu juga dapat mengurangi pembayaran menjadi hanya satu pembayaran per currency  kepada / dari suatu counterparty.  Bilateral payment netting paling baik apabila para pihak mempunyai perdagangan timbal balik (two way flow of business) selain juga sangat menarik bagi bank-bank  yang aktif. Untuk memperoleh manfaat dari kemungkinan mengurangi risiko, bank harus berani menetapkan prosedur untuk mengidentifikasi kemungkinan pelaksanaan bilateral netting.

§             Penggunaan kesepakatan secara netto (bilateral payment netting) memerlukan beberapa modifikasi terhadap metode pengukuran  setelmen eksposur yang sudah dijelaskan dimuka. Kalau digunakan net payment eksposur, maka semua transaksi dengan suatu counterparty tertentu untuk menyelesaikan (settle) pada hari itu harus dipertimbangkan bersama :  bank akan melakukan pembayaran tunggal kepada counterparty untuk masing-masing currency yang mempunyai posisi net debet dan menerima pembayaran tunggal untuk masing-masing currency yang mempunyai posisi net credit.  Nilai maksimum sebagai penyelesaian dari eksposur setelmen sama dengan penjumlahan  posisi jatuh tempo yang harus diterima dari counterparty.  Namun demikian pengukuran durasi aktual dari eksposur akan menjadi lebih rumit karena transaksi yang di net kan yang dihasilkan dalam suatu set pembayaran terdiri dari berbagai currency dan tidak terdapat dua transaksi yang dapat dipasangkan untuk menghitung ‘the period of irrevocability’.  Agaknya, eksposur akan dibentuk sesuai nilai maksimumnya sesuai batas waktu cancellation untuk setiap jenis currency yang mencapai masa pembayarannya, dan akan jatuh waktu sebagaimana net kredit dari currency diterima.  Setiap metode pengukuran - apakah itu pengukuran yang eksak atau suatu perkiraan - memerlukan suatu pencadangan (allowances) untuk hal demikian.

§             Lebih lanjut, untuk memungkinkan pengukuran  eksposur secara net basis , dasar hukum untuk pembayaran perjanjian secara netto (netting arrangement ) haruslah sehat (sound).  Bank harus meyakini bahwa suatu netting arrangement secara hukum dapat dilaksanakan  di semua yurisdiksi yang relevan.

§             Beberapa bank menggunakan pembayaran secara net secara informal, misalnya dimana tidak terdapat netting contract yang  formal diantara counterparties.  Dalam situasi demikian back office  dari masing-masing counterparty melakukan konfirmasi melalui telepon sebelum melakukan settlement dan menyetujui untuk menyelesaikan hanya jumlah net dari perdagangan yang jatuh tempo. Mengingat kemungkinan tidak terdapatnya  suatu dasar hukum yang sehat yang memperkuat suatu prosedur dimaksud,  bank hendaknya meyakini bahwa mereka memahami benar dan mengelola risiko hukum , risiko kredit dan risiko likiditas dari praktik – praktik tersebut secara proporsional. Khususnya, eksposur counterparty  harus diperlakukan secara gross basis untuk tujuan manajemen risiko sampai bank memperoleh  adpis hukum yang jelas bahwa informal payment netting tersebut secara hukum adalah sehat (sound). Dapat ditambahkan, bahwa  praktik dan risiko nya harus dijelaskan dalam kebijakan dan prosedur bank.

§             Walaupun  netting  arrangement  secara signifikan  dapat mengurangi  risiko setelmen nilai tukar (fx), namun hal ini tidak mampu  mengurangi risiko kredit secara keseluruhan. Artinya, risiko risiko hukum, risiko likiditas dan risiko operasional yang signifikan tetap ada. Misalnya, karena suatu  masalah operasional, transaksi-transaksi yang sudah dijadwalkan  untuk diselesaikan  melalui netting arrangement secara tidak sengaja terselesaikan secara gross, suatu bank mungkin tidak mempunyai likiditas untuk menyelesaikan transaksi tersebut secara tepat waktu.


VIII.        Perjanjian alternatif untuk mengurangi risiko setelmen nilai tukar.
(Alternative arrangement for fx settlement risk reduction)

    Apakah  bank menggunakan metode lain (alternatif) untuk mengurangi risiko setelmen nilai tukar ?

Kriteria  : (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi XI, paragraph 39 - 42)

Catatan :    Metode alternatif penyelesaian melalui CLS Bank khusunya untuk mata uang Rupiah belum mungkin dilaksanakan karena Rupiah belum masuk dalam daftar currency CLS Bank.


§             Opsi tambahan harus disusulkan untuk mengurangi risiko setelmen nilai tukar. Misalnya, suatu proyek besar yang sedang dalam pelaksanaan adalah kreasi dari CLS (Continuous Linked Settlement ) Bank, suatu fasilitas  multicurrency  oleh suatu perusahaan swasta  yang men-settle transaksi nilai tukar yang melibatkan ‘ payment- vs payment’ .

§             Bank dengan eksposur setelmen yang signifikan hendaknya mem pertimbangan benar-benar penggunaan perjanjian pengurangan risiko (risk reducing arrangement), apakah dengan partisipasi secara langsung atau dengan cara melalui jasa – jasa pihak ketiga.  Dalam meng-evaluasi  pilihan tersebut bank harus secara hati-hati melakukan asesmen  terhadap biaya yang terkait dengan ekposur, termasuk  expected losses  dan biaya economic capital  yang terkait dengan unexpected losses. Tujuan utama dari keputusan untuk menggunakan perjanjian risk reducing hendaknya didasarkan pada keseimbangan semua cost and benefit , dan penting bagi bank untuk tidak under estimate terhadap keuntungan yang akan diperoleh dari risk reduction dengan asumsi bahwa bank tidak mungkin gagal secara tiba-tiba (mendadak).

§             Bank yang memilih untuk berpartisipasi dalam perjanjian risk reducing , seperti halnya CLS Bank harus memahami bahwa  partisipasi tersebut dapat  ber-implikasi pada sejumlah bagian-bagian organisasi mereka disamping area yang secara langsung terlibat dalam proses pembayaran (payments  processing),  Sehubungan dengan itu, bank harus mengembangkan suatu proses yang menyeluruh (overall) untuk memantau dan melakukan asesmen terhadap implikasi-implikasi yang ditimbulkan (misalnya dalam praktik-praktik trading and funding) dan untuk meyakini bahwa mereka sudah siap dengan perubahan  sebagai hasil dari partisipasi mereka.

§             Dapat ditambahkan, bahwa bank hendaknya memahami bahwa , walaupun perjanjian risk reducing cendrung secara signifikan mengurangi risiko setelmen (settlement risk) yang penting , namun mereka tidak boleh mengeliminasi semua risiko-risiko tersebut.. Jadi, bank yang menggunakan perjanjian tersebut harus mempunyai pemahaman yang menyeluruh terhadap perjanjian tersebut dan  risiko lainnya yang mereka hadapi, misalnya risiko likiditas, risiko hukum dan risiko operasional. Bahkan, jika bank menggunakan perjanjian (arrangement) alternatif untuk berhubungan (deal) dengan counterparties utama , mereka cendrung untuk menggunakan metode ‘gross settlement’ yang tradisional  untuk counterparty tertentu dan currency tertentu. Oleh karena itu bank harus memasukkan penggunaan alternatif settelment arrangement kedalam ukuran-ukuran dan limit  pada FX settlement exposures, serta memahami bahwa penmggunaan perjanjian (arrengement) tersebut tidak mengeliminasi  kebutuhan terhadap semua tool yang diperlukan.
IX.              Internal audit

Apakah pemeriksaanpemeriksaan yang dilakukan Internal Audit Bank sudah mencakup juga risiko setelmen fx ?

Kriteria   :  (Paper BIS tentang “Supervisory Guidance for Managing Settlement Risk in Foreign Exchange Transactions” September 2000, rumawi XII, paragraph 43 - 45)

§             Bank hendaknya memasukkan secara cukup dalam cakupan auditnya proses penyeleseaian nilai tukar (process fx settlement) untuk meyakini bahwa operating procedures  adalah memadai untuk meminimalisasi  risiko setelmen (settlement risk).  Dewan komisaris bank, baik langsung atau melalui  audit komite, hendaknya  meyakini bahwa scope dan frekwensi dari program audit terhadap settlement risk sebanding dengan risiko yang dihadapi.

§             Dewan komisaris bank atau audit komite hendaknya meyakini bahwa laporan audit didistribusikan  pada tingkatan manajemen yang sesuai  sebagai informasi sehingga dapat  melakukan tindakan koreksi yang diperlukan tepat waktu .  Dewan komisaris atau audit komite hendaknya secara berkala  malakukan kaji ulang terhadap hal ini dan  mempertimbangkan pula isu-isu outstanding lainnya. Dan dimana perlu meyakini pula bahwa follow-up terhadap temuan audit  sudah dilaksanakan.

§             Apabila temuan-temuan audit meng-identifikasi bahwa area fx settlement risk perlu diperbaiki /di -improve, area lainnya dalam bank yang terkena dampak harus pula disesuaikan. Hal ini bisa mencakup manajemen risiko kredit,  rekonsiliasi / accounting, pengembangan sistem  serta manajemen sistem informasi. Pada settlement processing otomatis, Internal Audit Department (SKAI)  hendaknya pada tingkat tertentu mempunyai spesialisasi dalam audit informasi teknologi, khususnya apabila bank mempunyai fasilitas computer sendiri.

X.                 Tanggung jawab bank terhadap mitra
(A Bank’s responsible to its counter parties )

Petunjuk ini menekankan pentingnya langkah-langkah bank dalam melakukan manajemen  terhadap risiko setelmen ( settlement risk) yang mereka hadapi sendiri. Namun demikian, risiko setelmen merupakan proses dua arah - suatu bank perlu mewaspadai bahwa kebiasaan yang milikinya  mempengaruhi risiko setelmen  yang dihadapi oleh mitra ( counter parties).  Bank hendaknya  bereaksi secara seimbang  dan hendaknya memahami pula masalah yang dihadapi oleh mitra (counter party).  Bank hendaknya juga meminimalisasi kemungkinan bahwa  pemrosesan secara rutin risiko setelmen nilai tukar yang dilakukan, merupakan sebab kegagalan pelaksanaan settlement.  Misalnya, bank mungkin ingin mempertimbangkan bahwa , menetapkan ukuran dan pola  transaksi dalam currency  yang berkaitan, mereka mempunyai likiditas yang cukup pada rekening Nostro mereka untuk membiayai pembayaran yang tertunda dikarenakan kekurangan dana (shortage of fund).
Lebih lanjut, penggunaan  settlement instructions’ yang sudah distandardisasi dapat mengurangi risiko bahwa pembayaran-pembayaran tidak cendrung ‘salah jalan’ ( mis-routed), khususnya dimana  tyerdapat perubahan  pada instruksi-instruksi  yang dimaksud.
Komunikasi yang efektif juga dapat  membantu meminimalisir akibat buruk pada permasalahan, hal ini dapat sangat membantu bank untuk meyakinkan bahwa mereka mempunyai prosedur-prosedur untuk meng-informasikan counterparties  apabila muncul masalah operasional yang signifikan. Denagn mengambillangkah-langkah etrsebut, menghindari rutinitas , kegagalan  -kegagalan operasional , atau meminimalisasi dampak-dampaknya,  naml akan menjadikannya lebih mudah untuk meng-identifikasi  kasus-kasus yang mempunyai underlying problem yang lebih serius .


XI     Peranan Otoritas Pengawasan Bank

  • FX settlement Risk adalah suatu dimensi  dari counterparty risk dalam suatu bank.  Dengan  demikian, dewan komisaris  dan direksi  bank tetap bertanggung jawab  terhadap pengelolaan ‘ FX settlement risk’.  Otoritas punya kepentingan  untuk meyakini bahwa bank-bank telah melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian  risiko setelmen nilaitukar (FX Settlement Risk) sebagaimana seharusnya.
Kerugian setelmen transaksi nilai tukar dapat terjadi  terhadap kegagalan mitra siapapun  dalam perdagangan nilai tukar, namun eksposur stelmen  nilai tukar secara khusus dapat mendatangkan kerugian  dalam keadaan gejolak sistemik, seperti,  misalnya  apabila kualitas kredit dari mitra (counterparties) menurun tajam atau terdapat masalah  kredit dan likiditas yang intens.  Eksposur setelmen nilai tukar sering terkonsentrasi diantara bank-bank besar global dan karenanya kerugian  menjadi bagian substansi dalam keadaan  terjadinya kegagalan suatu bank besar.  Lebih lanjut , kerugian setelmen nilai tukar  kerap dilihat oleh pelaku pasar sebagai  pendahuluan dari masalah perkreditan yang lebih  luas dalam sistem financial, yang menjadi sebab akibat  diantara counterparties  yang berakibat buruk pada likiditas bank dan arus aktivitas bisnis.  Gejolak sistemik demikian jarang terjadi, kerugian potensial dari setelmen risiko nilai tukar terjadi karena hal hal sangat mendasar, yaitu  karena  pertukaran  dan volume transaksi yang besar.



  • Otoritas hendaknya mewajibkan bahwa bank-bank yang  melaksanakan  FX Trading mempunyai metode yang sesuai dalam mengelola  eksposur setelmen nilai tukar  yang konsisten pelaksanannya dengan  paper ini. Otoritas  mengharapkan  semua bank mengukur ‘risiko setelmen nilai tukar’ (FX settlement  risk ) , menetapkan suatu limit tertentu terhadap semua mitra (counterparties) , dan memantau secara ketat  limit-limit yang dilampaui serta  kegiatan setelmen yang tidak normal / tidak biasa.  Otoritas mengharapkan  bank untuk  menggunakan metode/cara-cara  sebagai bagian  kegiatan dari aktivitas pengawasan mereka.  Otoritas hendaknya melakukan kegiatan konsultasi dengan internal auditor untuk menetapkan  kecukupan metodologi asesmen  risiko yang digunakan bank / institusi SKAI.  Dalam hal, otoritas menetapkan  bahwa  manajemen risiko setelmen nilai tukar yang dilakukan bank tidak memadai atau tidak efektif bagi profil risiko tertentu (spesifik) bank tersebut, maka bank harus mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan.

  • Otoritas dapat meningkatkan pengawasan (supervisory attention) pada area ini melalui pertanyaan-pertanyan (inquiring) serta meng-evaluasi  kemajuan bank dalam proses setelmen nilai tukar nya. Berbasis pada hasil kerja CPSS             (Committee on Payment and Settlement System), bank  secara mudah dapat melakukan peningkatan / perbaikan yang substansial  terhadap praktik-praktik setelmen nilai tukar untuk mengendalikan dan mengurangi risiko  setelmen nilai tukar.  Dengan demikian, otoritas dapat memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemantauan pengurangan  batas waktu pembayaran yang tidak dapat dibatalkan  sebelum jatuh waktu pembayaran dan dalam batas waktu yang diperlukan untuk melakukan rekonsiliasi setelmen.  Otoritas hendaknya memfokuskan pada, apakah bank  sudah secara penuh dan secara hati-hati meng-evaluasi pengurangan risiko yang potensial  yang dapat diperoleh melalui partisipasi dalam  inisiatif untuk mengurangi risiko setelmen nilai tukar , termasuk perjanjian  netting dan perjanjian-perjanjian (arrangements) lainnya yang mengurangi risiko.

  • Untuk meyakini bahwa risiko setelmen nilai tukar sudah dikelola dengan baik, otoritas dapat melakukan review ditempat (on the spot) sekaligus untuk memberikan bantuan yang diperlukan . Berikut ini adalah saran-saran BIS tentang hal-hal yang perlu di pertanyakan  oleh otoritas pada saat melakukan kunjungan / pemeriksaan  on the spot :

1)                  Manajemen  menyeluruh  (Overall management ).

o                   Apakah penanggung jawab risiko setelmen nilai tukar sudah pada level manajemen yang cukup tinggi dalam bank ?

o                   Apakah direksi melakukan pengujian/pengawasan  sebagaimana harusnya  terhadap eksposur risiko nilai tukar

o                   Apakah manajemen risiko nilai tukar cukup ter-integrasi dalam manajemen risiko bank secara over all ?

o                   Apakah ada pemisahan tanggung jawab yang jelas dalam bank ?.  Apakah ada koordinasi yang memadai diantara fungsi dan lokasi bank yang berbeda ?. Apabila timbul pertentangan (missal, dlam penggunaan limit) ,apakah ada sarana untuk menyelesaikannya ?
o                   Apakah  risiko setelmen nilai tukar dipahami oleh direksi dan mereka yang terlibat ?.  Adakah pelatihan yang memadai yang tersedia untuk mengatasi hal ini ?.
                        
2)                  Pengukuran  (Measurement).

o                   Apakah pengukuran-pengukuran yang dilakukan bank yang berbasis risiko cukup dipahami  faktor-faktor nya yang relevan, termasuk konsep-konsep perjanjian tentang jangka waktu pembatalan (unilateral cancellation) dan bagaimana hal ini berdampak terhadap ukuran maksimum dan  minimum eksposur bank ?.

o                   Apakah bank sudah mengambil  langkah-langkah yang sesuai  untuk memperoleh keyakinan terhadap kepastian perjanjian batas waktu pembatalan (unilateral cancellation date line) ?.

o                   Apakah korespondensi  tentang “cut off time” dibuat dokumentasinya ?. Apakah hal ini sekedar hanya kontrak dibandingkan sebagai dasar yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya?

o                   Apakah bank sudah mempertimbangkan pemberian waktu yang dibutuhkan guna penyelesaian prosedur internal  apabila di-kehendaki untuk membatalkan  suatu instruksi pembayaran?.  Apakah batas waktu pembatalan  sudah didasarkan pada kemampuan untuk menahan kembali  pembayaran-pembayaran individual pada waktu itu, dibandingkan dengan menahan semua instruksi pembayaran ?.  Apakah sudah dibuat Pencadangan  ‘ (allowans’ ) untuk kasus-kasus dimana waktu cut time dari bank koresponden berada di luar jam kerja yang normal ?. Apakah prosedur internal sudah di-uji keandalannya. ?.

o                   Apakah bank sudah mengambil langkah-langkah yang diperlukan  untuk meyakini  tentang kepastian yang masuk akal  tentang waktu yang dibutuhkan untuk rekonsiliasi ?  Apakah sudah dipertimbangkan secara memadai tentang  waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rekonsiliasi  saat informasi tentang pembayaran  sudah di kreditkan  ke rekening nostro bahwa  sudah diterima oleh koresponden ?  Apakah ada prosedur siap pakai  untuk meng-cover situasi  jika informasi dari bank koresponden terlambat ?  Adakah prosedur siap pakai  untuk meyakini bahwa  setiap transaksi yang gagal sudah secara cepat termasuk dalam  pengukuran eksposur bank.
o                   Apakah pengukuran bank membuat cadangan  yang sesuai untuk berbagai pembatalan dan rekonsiliasi  menurut berbagai mata uang ?

o                   Apabila bank menggunakan  suatu cara pengukuran ‘ kira-kira’ (approximate) pada eksposurnya , adfakah pengukuran ini menghindari pengukuran yang lebih rendah (underestimation) yang signifikan. ?

3)                  Pengaturan dan penggunaan limit. (Setting and using limits).

o                   Adakah eksposur setelmen bank telah melalui  proses pengendalian kredit yang memadai termasuk kaji ulang dan evaluasi kredit  dan penetapan maksimum eksposur yang cendrung  diambil  bank bagi nasabah-nasabah khusus tertentu,

o                   Adakah kewenangan dalam menetapkan limit  ?.  Adakah di pantau secara efektif ?.  Apakah pelampauan limit sudah mendapat persetujuan lebih dahulu dari pejabat perkreditan (manajemen) yang lebih kompeten, dan  diturunkan kembali setelahnya?.

o                   Apakah proses ini dilaksanakan sama baik dalam penggunaan maupun dalam  pengajuan limit pada eksposur yang lain dengan  durasi dan ukuran terhadap counterparty yang sama ?.

4)                  Meng-identifikasi dan mengelola transaksi gagal. (Identifying and manage fails).

Apakah bank mempunyai prosedur yang memadai untuk  secara cepat mengidentifikasi ‘transaksi gagal’, memberikan informasi kepada kredit departemen , meng-inisiasi usaha usaha untuk mendapatkan dana meng-identifikasi dan melakukan kaji ulang terhadap sifat permasalahan dan  mengambil langkah-langkah terulangnya kembali kejadian  serupa.
 
5)                  Memahami implikasi teknik-teknik untuk mengelola eksposur. (Understanding  the implication  of techniques to manage exposures).

Apabila bank menggunakan metode-metode  untuk mengurangi besarnya (size)  eksposur  (seperti , perjanjian penjaminan / collateral  arrangement, pembayaran netto / netting , instrumen-instrumen derivatif / derivative instruments , atau mekanisme setelmen tertentu / specialized settlement mechanism ), apakah bank sudah mengambil langkah yang diperlukan  untuk meyakini bahwa metode-metode tersebut adalah sehat dan benar dan bahwa implikasinya terhadap risiko setelmen nilai tukar , termasuk risiko ikutan lainnya dipahami / dimengerti dan diperkenankan dalam manajemen risiko bank.

6)                  Rencana darurat . (Contigency planning).

Apakah bank sudah membuat rencana darurat terhadap kemungkinan  terganggunya setelmen  transaksi nilai tukar ?  Apakah terhadap rencana tersebut  datas teah dilakukan test  secara berkala ?

7)                  Internal audit.

Apakah cakupan internal audit Bank mengenai proses setelmen nilai tukar sudah mencukupi ?.

                                                -------oooooo--------
R e f e r e n s i   :
Basel Committee of Banking Supervisor- Bank for International Settlement :
Supervisory Guidance For Managing Settlement Risk in Foreign  Exchange Transaction , September 2000.
Bank Indonesia :  SEBI No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 tentang            “Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum” serta Lampiran.