3.8.09

Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Kredit dari BIS,

Penerapannya Pada Bank Umum Syariah .


Oleh : Z. D u n i l


Pengertian Bank Umum.

Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang diterbitkannya memberikan pengertian tentang Bank Umum sebagai berikut:
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Dalam Peraturan Bank Indonesia, PBI No.11/25/PBI/2009 tanggal 1 juli 2009 , tentang Perubahan PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, secara implisit ditegaskan oleh Bank Indonesia bahwa peraturan – peraturan tentang Manajemen Risiko yang dikeluarkan Bank Indonesia bagi Bank Umum berlaku baik bagi Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah. Dalam PBI tersebut diatas ditegaskan bahwa Bank Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko sekurang-kurangnya meliputi :
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c. Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional
Dengan memperhatikan aspek-aspek yang membedakan Bank Umum Syariah dari Bank Umum Konvesional , maka penekanan dalam penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum Syariah, tentu saja sangat berbeda dari penerapan Manajemen Risiko pada bank Umum Konvensional.

Manajemen Risiko Kredit.
Bagi Bank Konvensional, telah diterbitkan oleh Bank Indonesia ketentuan tentang Manajemn Risiko yang perlu diterapkan dalam pengelolaan risiko kredit. Petunjuk tersebut terinci dalam Lampiran SE BI No. 5/21/DPN tanggal 29 September 2003 tentang “ Pedoman Standar Penerapan Manajemn Risiko pada Bank Umum“.
Disamping ketentuan Bank Indonesia terdapat pedoman dari Bank for International Settlement (BIS) berupa Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Kredit yang diterbitkan sebagai rangkaian dari papers BIS menyangkut “Framework for Bank’s Capital Structure“. Petunjuk BIS tertuang dalam paper (final paper) berjudul, “Principles for Management of Credit Risk “, May 2001.

Petunjuk ini dapat menjadi pedoman bagi perbankan (Bank Umum ) dan apabila hendak diterapkan pada Bank Umum Syariah, tentu memerlukan penyesuaian terutama menyangkut sistem operasional bank syariah yang tidak menerapkan pengenaan bunga yang identik dengan ‘riba’ sesuatu yang diharamkan dalam hukum Islam.

Penggunaan Istilah Penyaluran Dana sebagai pengganti Istilah Risiko Kredit .
Istilah Risiko Kredit adalah istilah yang digunakan baik oleh Bank for International Settlement maupun Bank Indonesia. Bank–Bank Islam di negara lain, umpamanya Islamic Development Bank Saudi Arabia, Bank... di Pakistan juga menggunakan istilah Risiko Kredit terhadap risiko Pembiayaan yang diberikannya.

Dalam sistem perbankan Indonesia, ada kecendrungan bahwa kata ’ kredit’ mempunyai konotasi dengan pembebanan bunga (interest) , sesuatu yang dalam perbankan syariah dianggap haram. Bahkan istilah yang sudah lama populer yaitu ’Bank Perkreditan Rakyat Syariah’ akhirnya dirubah menjadi ’Bank Pembiayaan Rakyat Syariah’. Perubahan ini tentu tidak terlepas dari konotasi dimaksud. Dalam beberapa kesempatan Bank Indonesia meng-introdusir penggunakan istilah ’Risiko Penyaluran Dana’ dengan arti yang sama dengan risiko kredit bagi bank syariah.

Berkaitan dengan itu penulis lebih memilih untuk meneruskan penggunaan istilah ’Risiko Penyaluran Dana’ yang sudah di-introdusir oleh Bank Indonesia sebagai pengganti istilah risiko kredit yang telah di kenal luas pada Bank Umum Konvensional dalam konteks penggunaannya bagi Bank Umum Syariah. Penulis ingin menambahakan bahwa dalam tulisan ini istitalah ’Penyaluran Dana’ tidak hanya dipakai sebagai pengganti istilah ‚Kredit’ melainkan juga akan sering digunakan secara interchangable dengan istilah pembiayaan (financing). Perlu di ingat bahwa istilah ’Risiko Penyaluran Dana' yang digunakan dalam tulisan ini identik dan mempunyai pengertian yang sama dengan istilah ’Risiko Kredit ’ dalam pengertiannya yang sudah umum diketahui.
Yang dimaksud dengan ’Risiko Penyaluran Dana’ adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counter party) memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Risiko Penyaluran Dana dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti pembiayaan (penyediaan dana) , tresuri dan investasi, dan pembiayaan perdagangan yang tercatat dalam banking book maupun trading book.

Definisi ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Bank for International Settlement bahwa : “Credit risk is most simply defined as the potential that a bank borrower or counterparty will fail to meet its obligation in accordance with agreed terms.”
Definisi diatas dapat diterapkan pada eksposur pembiayaan terhadap piutang atau sewa (lease) misalnya Murabahah , Musyarakah dengan cicilan, dan Ijarah. Juga dapat di aplikasikan pada Pembiayaan Modal Kerja Perdagangan atau modal kerja proyek (Salam, Istisna atau Mudarabah). Bank perlu mengelola risiko penyaluran dana inheren dalam portofolio pembiayaan dan investasi mereka terhadap kemungkinan terjadinya gagal bayar (default), penurunan kolektibilitas (downgrading) dan meningkatnya risiko karena penumpukan pada suatu bentuk pembiayaan tertentu (concentration).

Manajemen Risiko Kredit / Risiko Penyaluran Dana.

Bank for International Settlement dalam paper (final paper) berjudul, “Principles for Management of Credit Risk “, May 2001, meng-introdusir sejumlah prinsip yang dapat dijadikan pedoman bagi Bank Umum dalam menerapkan Manajemen Risiko Kredit . Prinsip prinsip tersebut akan diperinci satu persatu dan dikaji penerapannya (adobsi) menjadi Prinsip Manajemen Risiko Kredit bagi Bank Umum Syariah (BUS).

Prinsip-prinsip Asesmen Manajemen Risiko Kredit dari BIS.

A. Membentuk lingkungan yang serasi untuk Risiko Kredit

Principle 1 :
The board of director should have responsibility for approving and periodically (at least annually) reviewing the credit risk strategy and significant credit risk policies of the bank. The strategy should reflect the bank tolerance for risk and the level of probability the bank expects to achieve for incurring various credit risk.

Prinsip No.1 diatas berlaku umum .Dengan demikian prinsip ini dapat diterapkan baik pada Bank Umum Konvensional maupun pada Bank Umum Syariah. Namun dalam penerapan pada Bank Umum Syariah istilah ‘Risiko Kredit’ disesuaikan menjadi ‘ RisikoPenyaluran Dana’.
Jadi Prinsip No. 1 tersebut pada Bank Umum Syariah , dapat diadopsi menjadi sebagai berikut:

Prinsip No.1.
Dewan Komisaris bank bertanggung jawab dalam menyetujui dan melakukan kaji ulang secara periodik (minimal sekali setahun) strategi Risiko Penyalurean Dana dan pokok-pokok kebijakan Risiko Penyaluran Dana bank. Strategi harus mencerminkan toleransi bank terhadap risiko dan tingkat kemungkinan pencapaian yang diharapkan dari adanya berbagai risiko penyaluran dana.

Kepentingan Bank Syariah dalam kaitannya dengan risiko penyaluran dana sebagaimana di- definisikan diatas adalah, bank berusaha agar tingkat pengembalian dari penyaluran dana yang diberikan bank adalah maksimum. Tujuan dari manajemen risiko penyaluran dana adalah untuk maksimalisasi tingkat pengembalian penyaluran dana bank dengan menjaga exposure risiko penyaluran dana dalam batas ukuran yang akseptabel. Untuk mencapai itu diperlukan kepiawaian bank dalam mengelola penyaluran dananya. Manajemen bank syariah dalam mengelola risiko penyaluran dana haruslah berdasarkan prinsip-prinsip manajemen risiko yang sudah teruji secara universal.

Principle 2 :
Senior management should have responsibility for implementing the credit risk strategy approved by the board of director and for developing policies and procedures for identifying, measuring, monitoring and controlling credit risk. Such policies and procedures should address credit risk in all of the bank’s activities and at both the individual credit and portfolio level.

Prinsip No. 2 ini juga berlaku umum. Dapat diterapkan baik pada Bank Umum Konvensional maupun pada Bank Umum Syariah.

Dalam penerapannya pada Bank Umum Syariah , Prinsip No.2 tersebut hendaknya dibaca menjadi sebagai berikut :

Prinsip No.2.
Direksi Bank bertanggung jawab terhadap pelaksanaan strategi risiko penyaluran dana yang telah disetujui oleh Dewan Komisaris serta pengembangan kebijakan dan prosedur dalam identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko Penyaluran Dana. Kebijakan dan prosedur tersebut harus di arahkan pada risiko penyaluran dana pada setiap kegiatan bank baik secara individual nasabah yang dibiayai maupun pada portofolio.

Dalam penerapan Prinsip Manajemen Risiko tersebut diatas pada Bank Umum Syariah diperlukan pengawasan aktif (active oversight) baik dari Dewan Komisaris maupun Direksi Bank.
Tujuan Manajemen Risiko Penyaluran Dana , begitu juga profil risiko dan toleransi risiko haruslah mendapat persetujuan lebih dahulu dari Dewan Komisaris. Persetujuan tersebut dikomunikasikan / disosialisasikan kepada mereka yang terlibat dalam pelaksanaan pedoman manajemen risiko yang ditetapkan. Dewan Komisaris hendaknya meyakini bahwa bank sudah mempunyai struktur manajemen risiko yang efektif dalam mengelola seluruh aktivitas bank, termasuk sistem yang cukup (adequate) untuk mengukur, memantau , melaporkan dan mengendalikan eksposur risiko.

Dalam kaitannya dengan GCG (Good Corporate Governance), Bank Syariah harus mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berfungsi juga sebagai advisor bagi Dewan Komisaris dan Direksi dan sekaligus mengawasi (oversee) bahwa produk-produk dan aktivitas operasional Bank sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

Dari Prinsip No. 2 diatas terkandung kewajiban dari Dewan Komisaris yang harus menyetujui terlebih dahulu limit dan jumlah (aggregate) pembiayaan serta eksposur investasi untuk menghindari penumpukan risiko, dan terkait dengan kecukupan modal meyakini bahwa bank mempunyai Modal (Capital) yang cukup untuk menopang eksposur tersebut. Dewan Komisaris juga harus melakukan kaji ulang (review) terhadap efektivitas dari kegiatan manajemen risiko secara periodik dan melakukan perubahan / perbaikan dimana diperlukan.

Direksi melaksanakan strategi yang telah dtetapkan oleh Dewan Komisaris dan seterusnya menetapkan garis kewenangan dan tanggung jawab yang jelas dalam melaksanakan , memantau dan melaporkan eksposur risiko. Direksi hendaknya meyakini bahwa kegiatan pembiayaan dan investasi dilaksanakan dalam batas limit yang sudah disetujui / ditetapkan oleh Dewan Komisaris.

Direksi hendaknya meyakini bahwa fungsi manajemen risiko terpisah dari fungsi mereka yang mengambil risiko (risk taking unit). Fungsi manajemen risiko berada dibawah pengendalian Dewan Komisaris atau Direksi. Walaupun hal ini tergantung pada cakupan ,ukuran dan kompleksitas dari bisnis bank, namun fungsi manajemen risiko harus dipegang oleh sekumpulan orang dari suatu unit yang independen. Orang-orang ini mendefinisikan kebijakan, menetapkan prosedur, memantau kesesuaian dengan limit yang sudah ditetapkan dan memberikan laporan kepada top manajemen yang terkait dengan aspek risiko.

Principle 3 :
Banks should identify and manage credit risk inherent in all products and activities. Bank should ensure that the risk of products and activities new to them are subject to adequate risk management procedures and controls before being introduced or undertaken, and approved in advance by the board of directors or its appropriate committee.

Prinsip diatas juga berlaku baik bagi Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah. Pada Bank Umum Syariah Prinsip No. 3 ini dapat diadopsi menjadi sebagai berikut :

Prinsip No.3.
Bank harus mengidentifikasi dan mengelola risiko penyaluran dana serta setiap kegiatan dan produk yang berkaitan. Bank harus menyadari bahwa risiko terhadap kegiatan dan produk baru merupakan subjek dari prosedur dan pengendalian manajemen yang cukup. Sebelum dilaksanakan/diluncurkan harus dinilai lebih dahulu oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) dengan berpedoman kepada fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional dari Majlis Ulama Indonesia ) apakah suatu produk baru sudah memenuhi prinsip syariah. Kemudian semua produk / kegiatan baru harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Komisaris. atau komite manajemen risiko yang bersangkutan sebelum produk tersebut diluncurkan atau suatu kegiatan baru mulai dilaksanakan.

Bank Syariah hendaknya mempunyai suatu strategi pembiayaan yang jelas. Harus ada suatu daftar transaksi / kegiatan dan pembiayaan yang boleh dilakukan / diperkenankan. Daftar tersebut hendaknya secara jelas pula mencantumkan pengecualian-pengecualian dari kegiatan dan transaksi serta pembiayaan yang digolongkan ’haram’ dalam hukum Islam. Daftar yang sudah disetujui harus dikinikan ( update ) serta dikomunikasikan kepada pegawai yang berkepentingan dalam Bank termasuk mereka yang menangani fungsi kepatuhan.

Bank Umum Syariah harus mengembangkan pemahaman terhadap risiko penyaluran dana dalam kegiatan pembiayaan yang lebih kompleks (umpamanya , pembiayaan kepada sektor industri tertentu ; sekuritisasi asset ; opsi kontrak dengan nasabah ; surat utang / notes yang terkait dengan pembiayaan dsb). Hal ini penting karena ada unsur risiko penyaluran dana. Walaupun bukan hal baru bagi perbankan, mungkin ririko penyaluran dana tersebut memerlukan analisis yang lebih dari risiko aktivitas pemberian pembiayaan bank syariah secara tradisional. Walaupun kegiatan pemberian pembiayaan yang lebih kompleks memerlukan prosedur dan pengendalian siap pakai, prinsip-prinsip dasar dalam manajemen risiko penyaluran dana tetap harus dijalankan.

B. Beroperasi dalam suatu proses pemberian kredit yang sehat.

Principle 4 :
Banks must operate within sound, well-defined credit-granting criteria. The criteria should include a clear indication of the bank ‘s target market and a thorough understanding of borrower or counterparty, as well as the purpose and structure of the credit, and its source of repayment.

Prinsip tersebut diatas juga bersifat umum dan dapat diberlakukan baik pada Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah,
Bagi Bank Umum Syariah prinsip tersebut dapat diadopsi menjadi sebagai berikut :

Prinsip No.4.
Bank harus beroperasi dalam kriteria penyaluran dana yang sehat yang didefinisikan dengan jelas. Kriteria harus meliputi target indikasi pasar yang jelas dan melalui pemahaman terhadap nasabah / calon yang dibiayai mencakup struktur pembiayaan, tujuan serta sumber pembayaran kembali pembiayaan dimaksud.

Menetapkan kriteria pemberian pembiayaan yang jelas dan sehat sangat penting untuk persetujuan pembiayaan dengan cara yang aman dan sehat. Kriteria harus menetapkan, siapa yang ‘eligible ‘ untuk memperoleh pembiayaan dan berapa banyak, jenis pembiayaan apa saja yang dapat diberikan, serta apa syarat-syarat (terms and conditions ) pemberian pembiayaan tersebut

Bank harus memperoleh informasi yang cukup untuk dapat melakukan asesmen yang komprehensif dari profil risiko yang sesungguhnya dari nasabah .
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dan didokumentasikan dalam menyetujui suatu pembiayaan akan menyangkut hal-hal sebagai berikut :

o Tujuan permintaan pembiayaan dan sumber pembayaran kembali.
o Profil risiko terakhir ( termasuk sifat dan jumlah akumulasi pembiayaan) dari nasabah yang dibiayai dan jaminan (sesuai kebutuhan), serta perkembangan sensitifitas pada kedaan pasar dan ekonomi
o Riwayat pembayaran kewajiban nasabah yang lalu dan kemampuan pembayaran saat ini, yang didasarkan pada trend keuangan dan proyeksi cash flow dalam berbagai skenario.
o Untuk pembiayaan yang bersifat Commercial , kemampuan bisnis nasabah dan status sektor ekonomi peminjam dan posisinya dalam sektor ybs (bagi korporasi).
o Syarat-syarat (terms and conditions) pembiayaan yang akan diberikan , termasuk perjanjian perubahan limit sesuai profil risiko nasabah diwaktu yang akan datang
o Apabila applicable , kecukupan dan kemudahan pencairan jaminan atau garansi dalam berbagai skenario.

Bagi nasabah baru (untuk pertama kali) harus dipertimbanghkan juga integritas dan reputasi yang bersangkutan dalam menerima pembiayaan bank. Sekali kriteria pemberian pembiayaan ditetapkan, maka penting bagi bank untuk meyakini bahwa informasi yang diperolah cukup dan sesuai untuk pembuatan keputusan pemberian pembiayaan. Informasi tersebut juga berguna untuk menetapkan rating nasabah dalam sistem ‘internal credit rating ‘bank.

Pemberian pembiayaan mencakup menerima risiko sebagaimana mengharapkan profit. Bank harus melakukan asesmen hubungan risiko dan keuntungan (risk/reward relationship) . Dalam mengevaluasi suatu proposal pembiayaan , bank perlu melakukan asesmen terhadap risiko dihadapkan dengan return; profit yang diperhitungkan akan diterima, berapa kemungkinannya; syarat syarat harga dan non harga (seperti collateral , pembatasan-pembatasan dalam akad dsb). Dalam menganalisa risiko, bank hendaknya juga melakukan asesmen seperti skenario apabila tidak berhasil dan kemungkinan dampaknya kepada nasabah atau counterparty. Masalah yang umum diantara bank-bank adalah , kecendrungan tidak menilai suatu fasilitas pembiayaan sebagai hubungan yang overall dan karenanya bank sering tidak menerima kompensasi yang memadai sesuai risikonya.

Principle 5 :
Banks should establish overall credit limits as the level of individual borrowers and counterparties, and groups of connected counterparties that aggregate in a comparable and meaningful manner different type of exposure, both in the banking and trading book and on and off the balance sheet

Prinsip tersebut diatas bertujuan antara lain untuk mengendalikan portofolio, pengendalian pembiayaan terhadap Grup, serta dalam rangka mempermudah menetapkan ATMR guna perhitungan CAR sesuai dengan Basel II. Prinsip ini berlaku pada Bank Umum Konvensional. Namun untuk Bank Umum Syariah perlu ditinjau lebih dahulu perbedaan Trading Book pada Bank Umum Konvensional dengan Trading Book pada Bank Umum Syariah.

Dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Perhitungan KPMM (CAR), antara lain ditetapkan hal-hal mengenai Trading Book dan Banking Book sebagai berikut :
Dalam pengertian Trading Book yang ditetapkan Bank Indonesia dalam PBI.No.9/13/PBI/2007 tgl. 1 Nov.2007 Tentang: Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan memperhitungkan Risiko Pasar , dikemukakan a.l :

Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki untuk:
a. tujuan diperdagangkan dan dapat dipindah tangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi:
a.1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek;
a.2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensial dari pergerakan harga (price movement); atau
a. 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits);
b. tujuan lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.

Sedangkan mengenai Banking Book, dikemukakan bahwa Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book
Pada Bank Umum Syariah pengertian ini tidak dapat diterapkan secara utuh.

Tujuan sebagaimana tersebut pada butir a. mengandung unsur maysir. Tujuan tersebut sulit dipisahkan dari unsur spekulasi / untung-untungan. Karenanya Bank Umum Syariah tidak melakukan kegiatan perdagangan valuta asing selain untuk menjaga kewajiban terhadap pihak lain yang sudah disepakati umpamanya sesuai dengan L/C import yang dibuka atau untuk menyediakan valuta asing bagi transfer masuk valuta asing yang akan dibayarkan oleh Bank, artinya penyediaan valuta asing hanya untuk memenuhi kebutuhan bank atau nasabah yang diperkenankan dan sesuai syariah.
Kemudian tujuan lindung nilai juga masih ada perbedaan pendapat yang menurut penulis masih perlu di-clear kan lagi. Ada pendapat bahwa transaksi lindung nilai (hedging) masih mengandung maysir dan ada yang berpendapat hal tersebut diperkenankan karena sifatnya menghindarkan kemungkinan kerugian bank dari gejolak kurs.(Lihat tulisan tentang ‘Perbedaan Bank Umum Konvensional dengan Bank Umum Syariah ‘ yang di up load pada tanggal .... yang lalu khususnya perbedaan dalan transaksi valas).

Sehubungan dengan itu, sementara menunggu ketegasan baik dari DSN –MUI maupun dari Bank Indonesia maka penerapan prinsip tersebut diatas pada Bank Umum Syariah sebaiknya diadopsi terbatas sebagai berikut :

Prinsip No.5.
Bank harus menetapkan over all limit pembiayan pada nasabah perorangan, perusahaan, atau grup perusahaan yang saling terkait/berhubungan, dalam suatu jumlah atau exposure yang dapat diperbandingkan, baik dalam trading book yang menampung transaksi yang sesuai syariah maupun banking book pada Neraca maupun non Neraca (off Balanse Sheet).

Elemen yang penting dalam manajemen risiko adalah menetapkan limit exposure pada nasabah perseorangan dan grup dari nasabah yang dibiayai. Pada bank yang lebih maju, limit tersebut sering didasarkan pada internal risk rating yang diterapkan pada nasabah /counterparty . Nasabah yang memperoleh rating yang lebih baik berpotensi untuk memperoleh limit exposure yang lebih tinggi.Pada Bank Umum Konvensional, rating yang lebih baik memungkinkan untukmemperoleh timhkat bunga yang lebih rendah. Limit juga hendaknya ditetapkan untuk industri tertentu , sektor ekonomi , wilayah serta produk tertentu.

Limit exposure dibutuhkan pada semua area kegiatan bank yang mengandung risiko penyaluran dana. Limit ini membantu untuk meyakini bahwa kegiatan penyaluran dana yang dilakukan bank cukup terdiversifikasi.. Limit dari suatu transaksi akan efektif dalam mengelola profil risiko kredt, karenanya limit secara umum harus diikat dan tidak dikendalikan oleh permintaan nasabah

Dalam kaitan dengan prinsip diatas, penting bagi Bank Umum Syariah mempunyai suatu metodologi untuk mengukur dan melaporkan eksposur risiko pembiayaan yang timbul dari masing-masing instrument pembiayaan berdasarkan syariah yang diadopsi bank. Bank harus mengelola counterparty risk (risiko nasabah yang dibiayai) yang dapat terjadi pada tingkatan akad yang berbeda (termasuk risiko performance nasabah pada akad Salam dan Isthisna).

Seleksi yang dilakukan terhadap transaksi pembiayan dan komitmen dalam mengambil eksposur risiko harus mempertimbangkan tingkat profitabilitas, yang sekurang-kurangnya dilakukan dengan cara memastikan bahwa analisa perkiraan biaya dan pendapatan telah dilakukan secara komprehensif dan mencakup biaya operasional, biaya dana, dan biaya yang berhubungan dengan terjadinya gagal bayar yang merugikan bank, serta perhitungan kebutuhan modal. Untuk biaya berdasarkan estimasi harus benar-benar dikaji aspek syariahnya secara mendalam.

Principle 6 :
Bank should have a clearly- established process in place for approving new credits as well as the amendement, renewal and re- financing of existing credits.

Prinsip tersebut diatas akan dapat diterapkan sepenuhnya baik pada Bank Umum Konvensional maupun pada BankUmum Syariah.
Adopsi pada Bank Umum Syariah hanya merubah kata kredit menjadi pembiayaan , sebagai berikut :

Prinsip No.6.
Bank harus mempunyai proses yang jelas dan teratur tentang persetujuan pembiayaan , pembiayaan baru , begitu juga untuk pembaruan / perpanjangan pembiayaan , atau pembiayaan kembali (re-financing) atas pembiayaan yang telah ada.

Bank harus menetapkan kebijakan dan prosedur tentang calon nasabah yang eligible (yang boleh dibiayai) umpamanya , retail , consumer , corporate , dengan dasar kehalalan
yang jelas dan memenuhi fungsi kepatuhan terhadap syariah serta dengan menggunakan instrument pembiayaan yang sesuai. Bank harus memperoleh informasi yang memadai (sufficient) agar memungkinkan bagi Bank untuk melakukan asesmen yang komprehensif terhadap profil risiko calon nasabah yang akan dibiayai sebelum pembiayaan direalisir.

Dalam proses persetujuan, hendaknya mengikut sertakan ahli yang diperlukan termasuk penasihat syariah untuk mengkaji ulang (review) dan meyakini bahwa suatu usulan pembiayaan yang baru memang belum pernah diajukan sebelumnya dan atau perubahan dalam suatu kontrak (existing) senantiasa memenuhi prinsip syariah (syariah compliant). Bank juga dapat memperkerjakan ahli teknik yang sesuai (appropiate technical expert), misalnya seorang insinyur untuk meng-evaluasi fisibilitas suatu usulan proyek baru dan untuk melakukan asesmen dan menyetujui tagihan-tagihan (progress billing) dibawah suatu kontrak tertentu.

Tentang perpanjangan pembiayan, dan refinancing atau pembiayaan kembali, bank harus mempunyai prosedur dengan kriteria yang jelas mengenai persyaratan perpanjangan dan pembiayaan kembali. Kedua persetujuan tersebut harus melalui proses penilaian terhadap performance dan kondisi nasabah .

Principle 7 :
All extensions of credit must be made on an arm’s – length basis. In particular, credit to related companies and individuals must be authorised on an exception basis, monitored with particular care and other appropriate steps taken to control or mitigate the risks of non arm’s length lending.

Pada Bank Umum Syariah Prinsip tersebut dapat dibaca menjadi sebagai berikut :

Prinsip No.7
Semua perpanjangan pembiayaan harus dilakukan secara lugas tanpa membedakan apakah nasabah yang dibiayai pihak terafiliasi atau pihak tidak terafiliasi dengan bank ( arm’s length basis). Khususnya pembiayaan kepada perusahaan dan individu yang merupakan pihak terafiliasi dengan bank persetujuannya harus dilakukan tersendiri ,dipantau (dimonitor) secara khusus dan diambil langkah yang diperlukan untuk pengendalian atau pengurangan risiko kredit yang tidak bersifat umum (non arm’s length lending ).

Untuk mempertahankan portofolio pembiayaan yang sehat (sound) , bank syariah harus menetapkan proses evaluasi transaksi dan persetujuan pembiayaan secara formal . Persetujuan harus dilakukan sesuai pedoman tertulis dan dilakukan oleh level manajemen yang sesuai. Harus ada dokumentasi yang jelas untuk “jejak audit” (audit trail) bahwa proses persetujuan telah sesuai dan dapat di-identifikasi individu / komite atau suatu satuan tugas khusus yang memberikan input dan yang memutuskannya. Kesesuaian dengan prinsip syariah harus ditetapkan di awal sebelum analisa kuantitatif yang menjelimet dilakukan.

Prinsip diatas adalah dalam rangka mengamankan bank dari kemungkinan penyalah gunaan dalam bentuk memberikan keistimewaan kepada pihak terkait dengan bank. Karena itu pemberian pembiayaan kepada pihak terkait harus diperlakukan dengan pengawasan yang lebih jelas , dipantau dengan lebih cermat disertai langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengurangi risiko sebagaimana pemberian pembiayaan kepada pihak ketiga lainnya.

Principle 8 :
Banks should have in place a system for the on going administration of their various credit risk – bearing portfolios.

Prinsip diatas berlaku bagi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah. Adobsinya adalah sebagai berikut :

Prinsip No.8
Bank harus mempunyai sistem administrasi pembiayaan yang sedang berjalan dalam berbagai portofolio risiko penyaluran dana

Bank harus mempunyai sistem manajemen pembiayaan dan prosedur administrasi yang jelas untuk secara lebih awal memungkinkan bank melakukan tindakan yang diperlukan apabila nasabah yang dibiayai mengalami tekanan keuangan (financial distress), khususnya menghadapi pembiayaan yang bermasalah atau nasabah yang gagal bayar. Sistem ini mencakup kaji ulang secara teratur terhadap pembiayaan yang diberikan. Pengkinian administrasi termasuk data nasabah menyangkut administrasi dan rasio-rasio keuangan merupakan kegiatan yang terus menerus harus dilakukan.

Administrasi pembiayaan merupakan elemen penting dalam mempertahankan keamanan dan kesehatan (soundness) suatu bank . Pemberian pembiayaan itu menjadi tanggung jawab bisnis unit , sering bersama dengan tim yang men-support lainnya. Karena itu harus diyakini bahwa pembiayaan berjalan dengan baik, melalui berbagai cara dengan mendapatkan informasi keuangan yang mutakhir, menyampaikan peringatan / catatan yang diperbarui dijaga dengan baik termasuk, menjaga file pembiayaan tetap di-kinikan (up to date) serta sistem informasi melibatkan unit lain antara lain menyiapkan berbagai dokumen seperti ‘perjanjian pembiayaan ‘ sesuai dengan akad yang relevan.

Dengan luasnya rentang pertanggung jawaban dari fungsi administrasi pembiayaan , maka struktur organisasinya berbeda menurut ukuran dan kerumitan masing masing Bank Umum Syariah. Dalam bank yang lebih besar, tanggung jawab pada berbagai komponen administrasi pembiayaan biasanya ditugaskan pada departemen yang berbeda. Dalam bank yang lebih kecil , beberapa orang cukup untuk menangani beberapa area fungsional. Apabila beberapa individu menangani fungsi yang sensitive seperti ‘dual custody’ terhadap dokumen penting (‘key document’), perintah pengeluaran dana (wiring out funds) atau meng-enter limit pada database computer, mereka harus berada dibawah manajer yang independen terhadap business origination dan proses persetujuan pembiayaan.

File pembiayaan hendaknya mencakup seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui kondisi keuangan nasabah terakhir, sebagaimana diperlukannya informasi yang memadai tentang jejak pengambilan keputusan (audit trail) dan riwayat pemberian pembiayaan kepada nasabah . Sebagai contoh; file pembiayaan harus mencakup laporan keuangan terakhir, analisa keuangan dan dokumentasi internal rating, memo-memo internal, surat-surat referensi, dan penilaian (appraisals) . Fungsi kaji ulang pembiayaan (financing review) harus memastikan bahwa file pembiayaan sudah lengkap dan bahwa semua persetujuan pembiayaan dan dokumen lainnya yang penting ada dalam file.

Principle 9 :
Banks must have in place a system of monitoring the condition of individual credits, including determining the adequacy of provisions and reserves

Prinsip tersebut diatas berlaku umum. Penerjemahannya bagi Bank Umum Syariah sebagai berikut :

Prinsip No. 9
Bank harus mempunyai sistem untuk memantau keadaan masing-masing individual pembiayaan , termasuk kecukupan PPAP.

Bank perlu mengembangkan dan mengimplementasikan sistem informasi dan prosedur yang komprehensif untuk memantau kondisi nasabah perorangan yang dibiayai dalam berbagai portofolio bank. Prosedur ini dibutuhkan untuk mendefinisikan kriteria untuk meng-identifikasi dan melaporkan masalah pembiayaan yang potensial, dan transaksi-transaksi lainnya untuk meyakini bahwa hal-hal tersebut wajib untuk dipantau lebih sering sebagaimana perlunya dilakukan tindakan koreksi, pengklasifikasian dan pembentukan provisi (PPAP).

Pemantauan risiko penyaluran dana nasabah per nasabah secara individual adalah untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan yang tidak diinginkan .
Suatu system pemantauan pembiayaan yang efektif akan mencakup ukuran-ukuran :
o Meyakini bahwa bank mengerti / memahami kondisi keuangan nasabah yang terakhir
o Memantau kepatuhan terhadap perjanjian / akad yang telah dibuat
o Melakukan asesmen, apabila dimungkinkan memperoleh coverage dari jaminan pembiayaan terhadap posisi keuangan debitur terakhir
o Meng-identifikasi penyimpangan pembayaran kewajiban dalam akad dan melakukan klasifikasi masalah pembiayaan yang potensial sesuai waktunya ( on a timely basis).
o Mengarahkan secepatnya masalah untuk koreksi oleh manajemen

Bank senantiasa harus mempunyai cadangan yang mencukupi untuk meng-cover kemungkinan kerugian yang dapat terjadi. Prinsip tersebut berlaku baik bagi Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah. Kecukupan PPAP merupakan keharusan dalam menjaga keberlangsungan operasional pembiayaan. PPAP dapat disusun berdasarkan tingkatan kolektibilitas pembiayaan nasabah atau dapat pula berdasarkan tingkatan risiko pembiayaan. (Penyusunan PPAP berdasarkan tingkat risiko a.l. dapat dilihat pada buku ‘Risk Based Audit – Dalam Pemeriksaan Perkreditan Bank Umum’ yang juga disusun oleh penulis. Buku tersebut diterbitkan oleh PT Indeks, Grup Gramedia , Mei 2005.). Cara manapun yang dipakai jumlahnya tidak boleh lebih kecil dari ketentuan minimal yang ditetapkan otoritas (Bank Indonesia).

Principle 10 :
Banks are encourage to develop and utilize an internal risk rating system in managing credit risk. The rating system should be consistent with the nature, size and complexity of a bank’s activities.

Rating terhadap pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sudah jamak dilakukan pada BankUmum Konvensional terutama Bank-Bank besar , namun masih merupakan sesuatu yang baru pada Bank Umum Syariah. Prinsip diatas diterjemahkan sebagai berikut :

Prinsip No.10
Bank mendorong pengembangan dan memfasilitasi “internal risk rating system” dalam mengelola risiko pembiayaan. Rating system harus konsisten dengan sifat, ukuran dan kompleksitas dari kegiatan bank.

Penyusunan rating pembiayan bermanfaat antara lain :

- Sebagai salah satu cara menyusun grading kualitas pinjaman baik per-nasabah maupun portofolio. Grading kualitas pinjaman menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pembiayaan kedepan.
- Sebagai alat pengendalian pembiayaan. Mengetahui kualitas pembiayaan dengan tepat akan menjadi langkah awal bagi pelaksanaan tindakan / koreksi yang dapat dilakukan terhadap nasabah.

Masyarakat memahami istilah Credit Rating atau pada Bank Syariah hendaknya digunakan istilah ‘rating pembiayaan ‘ melaui definisi dan ungkapan sebagai berikut:
1. Credit Rating adalah evaluasi yang menyeluruh tentang kredibilitas (creditworthines) suatu debitur.
2. Credit Rating merupakan ukuran umum tentang kemungkinan gagalnya pembayaran oleh debitur terhadap pemenuhan kewajibannya (general measurement of probability of default)
3. Credit Rating adalah ‘bahasa dunia’ terhadap kredibilitas (world wide language of creditworthiness)
4. Credit Rating merupakan refleksi kemampuan dari debitur/obligor terhadap kewajibannya dalam membayar hutang pokok dan kewajiban lainnya sesuai waktu yang ditetapkan.
Karena itu, penyusunan ‘rating pembiayaan’ pada Bank Umum Syariah tidak hanya bermanfaat bagi internal melainkan juga pada stakeholder lainnya karena mempermudah pemahaman terhadap kondisi bank dilihat dari sisi pembiayaan yang dilakukan.

Secara spesifik, suatu internal risk rating system mengkategorisasikan penyaluran dana dalam beberapa klas yang dirancang untuk menetapkan tingkatannya (gradation) dalam risiko. Sistem yang lebih simple dapat didasarkan pada range kategori ‘memuaskan ‘ (satisfactory) sampai “tidak memuaskan” (unsatisfactory) , namun sistem yang lebih rinci mempunyai beberapa gradasi dari kredit yang dipertimbangkan sebagai “memuaskan’ untuk lebih benar-benar membedakan secara relatif posisi pembiayaan mereka. Jadi gradasi ‘memuaskan’ tersebut dirinci lagi dalam beberapa klas. Dalam mengembangkan sistem dimaksud bank harus menetapkan tingkat risiko suatu nasabah / counterparty, risiko dikaitkan dengan transaksi tertentu atau keduanya (tansaksi dan nasabahnya).

Internal risk rating merupakan alat penting untuk memantau dan mengendalikan risiko penyaluran dana. Dalam rangka memfasilitasi identifikasi dini terhadap perubahan profil risiko, internal risk rating system bank hendaknya responsif terhadap indikator (baik potensial maupun aktual) pergeseran risiko penyaluran dana . Pembiayaan yang ratingnya berubah , wajib mendapat pengawasan tambahan dan pemantauan., umpamanya lebih sering dikunjungi oleh financing officer dan masuk dalam daftar (watch list) yang wajib dikaji ulang secara berkala (review) oleh direksi. Internal risk rating dapat digunakan oleh satuan kerja bisnis lainnya sebagai dasar penetapan untuk karakteristik terakhir dari portofolio pembiayaan dan membantu menetapkan perubahan strategy bank. Karena itu , dewan komisaris dan direksi bank perlu secara periodik memperoleh laporan tentang kondisi portofolio berdasarkan rating tersebut.

Rating yang diterapkan kepada nasabah individual pada saat pemberian pembiayaan harus dikaji-ulang secara periodik dan nasabah individual harus dikelompokkan dalam klas rating yang baru apabila terjadi perubahan, semakin baik maupun memburuk. Karena pentingnya meyakini bahwa internal rating adalah konsisten dan secara tepat merefleksikan kualitas dari pembiayaan individual, tanggung jawab dalam menetapkan dan mengkonfirmasikan rating dimaksud hendaknya ditempatkan sebagai fungsi lembaga pengkajian independen terhadap satuan kerja pelaksana fungsi pembiayaan yang bersangkutan. Konsistensi dan akurasi dari rating perlu diperiksa secara periodik oleh suatu fungsi seperti grup kaji ulang pembiayaan yang independen (independent review financing group).

Bank dapat pula memperoleh manfaat lebih, apabila rating system dilakukan oleh pihak luar yaitu oleh suatu lembaga ECAI (External Credit Assessment Institution) yang independen. Karena berdasarkan grading yang dilakukan ECAI , bank untuk pos-pos tertentu diberikan bobot risiko yang lebih rendah dalam penghitungan ATMR , sehingga akan menghasilkan perhitungan CAR yang lebih besar .

Principle 11 :
Banks must have information system and analitycal techniques that enable management to measure the credit risk inherent in all on and off balance sheet activities. The management information system should provide adequate information on the composition of the credit portfolio, including identification of any concentration of risk.

Prinsip diatas akan berlaku dan dapat diaplikasikan baik pada Bank Umum Konvensional maupun pada Bank Umum Syariah. Terjemahannya bagi BUS (Bank Umum Syariah) menjadi sebagai berikut :

Prinsip No.11
Bank harus mempunyai sistem informasi dan teknik analisa yang memungkinkan manajemen untuk mengukur risiko penyaluran dana baik kegiatan pada rekening Neraca maupun dalam rekening Administratif (off BalanseSheet). Management Information System harus menyajikan informasi yang cukup pada komposisi portofolio pepenyaluran dana , termasuk identifikasi dari konsentrasi setiap risiko.

Efektivitas suatu proses pengukuran risiko pembiayan bank syariah sangat tergantung pada kualitas system informasi manajemen. Informasi yang berasal dari system tersebut memungkinkan komisaris dan semua tingkatan manajemen untuk memenuhi kebutuhan peran pengawasan mereka sebagaimana mestinya., termasuk menentukan tingkat kecukupan modal yang harus disediakan bank. Karena itu, kualitas, rincian, dan ketepatan waktu dari informasi sangatlah penting. Khususnya informasi tentang komposisi dan kualitas dari berbagai portofolio, termasuk posisi konsolidasi, yang memungkinkan manajemen untuk melakukan asesmen secara cepat dan akurat terhadap tingkat risiko pembiayaan yang melibatkan bank dalam berbagai kegiatan dan untuk menentukan apakah kinerja bank sesuai dengan strategi risiko pembiayan yang telah ditetapkan.

Bank hendaknya mempunyai metodologi yang memungkinkan mereka untuk menghitung risiko bagi setiap exposure individual borrowers atau counterparties. Bank hendaknya juga dapat melakukan analisa risiko penyaluran dana ditingkat produk dan portofolio untuk mengidentifikasi setiap sensitifitas atau konsentrasi tertentu . Pengukuran risiko penyaluran dana hendaknya memperhatikan :

I. Sifat khusus dari masing masing kegiatan pembiayaan :
(1) berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah),
(2) jual beli (murabahah, salam dan istishna),
(3) sewa (ijarah) dan
(4) jasa lainnya (rahn, sharf dan kafalah)
(5) serta kondisi perjanjian (akad) masing masing type pembiayaan.

II. Profil exposure sampai jatuh tempo, dalam hubungannya dengan potensi pergerakan pasar (market movements)

III. Adanya jaminan dan garansi , dan

IV. Potensi gagal bayar (default ) yang didasarkan internal risk rating. Analisa terhadap data risiko penyaluran dana hendaknya dilakukan pada suatu frekuensi yang sesuai dan hasilnya dikaji ulang dengan dikaitkan dengan limit yang bersangkutan. Bank hendaknya menggunakan teknik pengukuran yang sesuai dengan kompleksitas / kerumitan tingkat risiko yang ada dalam transaksi bank , didasarkan pada data yang akurat dan wajib divalidasi secara berkala.

Bank hendaknya mempunyai sistim informasi yang berlaku dan yang memungkinkan direksi untuk meng-identifikasi setiap konsentrasi risiko dalam portofolio pembiayaan . Kecukupan cakupan informasi hendaknya dikaji ulang secara berkala oleh business line manager dan direksi untuk meyakini bahwa informasi dimaksud sudah mencukupi, sesuai kompleksitas bisnis bank . Lebih lanjut bank juga perlu merancang system informasi yang memungkinkan tambahan analisis bagi portofolio pembiayaan termasuk stress testing.

Principle 12 :
Banks must have in place a system for monitoring the overall composition and quality of the credit portfolio.

Prinsip tersebut berlaku baik bagi Bank UmumKonvensional (BUK) maupun BUS.
Penerjemahannya sebagai berikut :

Prinsip No. 12.
Bank harus mempunyai sistem pemantauan yang menyeluruh tentang komposisi dan kualitas portofolio penyaluran dana.

Secara tradisional , bank memfokuskan perhatian pada pengawasan kinerja pembiayaan secara individual dalam mengelola risiko penyalurean dana secara overall. Walaupun fokus pada hal tersebut penting , bank juga membutuhkan suatu sistem pemantauan komposisi overall dan kualitas dari berbagai portofolio penyaluran dana. Sistem ini harus konsisten dengan sifat , ukuran , dan kompleksitas dari portofolio bank.

Salah satu sumber masalah pada penyaluran dana bank syariah adalah konsentrasi dalam portofolio pembiayaan . Konsentrasi pembiayaan tertentu dapat terjadi dalam berbagai bentuk, dan dapat timbul apabila sejumlah penyaluran dana mempunyai karakteristik yang sama . Konsentrasi terjadi antara lain apabila ; suatu portofolio bank mengandung suatu tingkat risiko yang tinggi, langsung atau tidak langsung dapat terjadi pada :

I. Nasabah perorangan/individual (Single counterparty)
II. Suatu grup atau nasabah-nasabah yang berafiliasi
III. Suatu industri tertentu atau sektor ekonomi tertentu
IV. Suatu wilayah geografi
V. Suatu tipe fasilitas pembiayaan tertentu atau ,
VI. Suatu tipe dari collateral

Konsentrasi penayaluran dana juga terjadi pada jatuh tempo pembiayaan yang sama. Konsentrasi dapat terbentuk lebih kompleks atau lebih mengecil keterkaitan pembiayaannya dalam portofolio . Konsentrasi risiko tidak hanya terjadi pada pemberian pembiayaan, tetapi juga pada seluruh rangkaian kegiatan kegiatan bank yang menurut sifatnya tergolong sebagai risiko penyaluran dana (counterparty risk). Suatu tingkat konsentrasi yang tinggi memperlihatkan bahwa bank mengalami perubahan yang kurang menguntungkan pada area dimana bank mempunyai konsentrasi yang tinggi

Suatu bank dapat pula menetapkan bahwa bank cukup mendapat kompensasi atas terjadinya konsentrasi risiko. Konsekwensinya bank hendaknya tidak menetapkan jauh-jauh hari bahwa konsentrasi pembiayaan yang sehat melulu berdasarkan pada konsentrasi tertentu. Bank mungkin perlu mencari alternatif untuk mitigasi atau mengurangi konsentrasi. Ukurannya dapat meliputi, penetapan harga untuk tambahan risiko, meningkatkan capital yang di’hold’ untuk kompensasi tambahan risiko dan menggunakan pembiayaan sindikasi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekonomi tertentu atau grup yang terkait dengan debitur tertentu. Bank harus hati-hati untuk tidak masuk dalam transaksi nasabah (borrowers) yang tidak dikenal , atau terlibat dalam pembiayaan nasabah tertentu sekedar untuk melakukan diversifikasi.

Principle 13 :
Banks should take into consideration potential future changes in economic conditions when assessing individual credits and their credit portfolios, and should assess their credit risk exposures under stressful conditions.

Prinsip diatas menyiratkan perlunya kehati-hatian dalam melihat potensi perubahan ekonomi dengan tujuan agar tidak terjebak pada situasi yang menyulitkan nantinya. Hal ini bermanfaat baik bagi BUK maupun BUS. Melihat potensi perubahan ekonomi bukanlah ‘meramal’ atau mendahului ketetapan Allah swt, karena bisa dihitung berdasarkan prakondisi dan trend ekonomi berjalan. Walaupun demikian ketepatannya sangat tergantung pada keahlian dalam menganalisanya.

Penerjemahannya kira-kira sebagai berikut :

Prinsip No.13
Bank harus memasukkan sebagai pertimbangan potensi perubahan keadaan ekonomi yang akan datang apabila hendak memberikan pembiayaan seseorang / nasabah serta portofolio penyaluran dana dan harus memperkirakan risiko dalam kondisi terburuk.

Elemen yang penting dalam manajemen risiko penyaluran dana yang sehat adalah mempersoalkan , potensi apa yang menyebabkan keadaan bisa memburuk pada suatu pembiayaan individual dan pada berbagai portofolio penyaluran dana, dan kemudian memperhitungkan faktor tersebut dalam analisa kecukupan capital dan provisi (PPAP). Persoalan “Bagaimana , kalau ..“ (What , If ) dapat mengungkapkan lebih awal area potensial yang tidak terdeteksi pada exposure risiko penyaluran dana bank. Hubungan antara kategori risiko yang berbeda seperti waktu terjadinya krisis harus dipahami betul-betul. Dalam keadaan yang memburuk (in case) mungkin ada hubungan yang substansial antara berbagai risiko , khususnya risikopenyaluran dana dan risiko pasar. Analisa skenario dan stress testing adalah cara yang bermanfaat untuk melakukan asesmen pada area dengan masalah potensial

Stress testing , hendaknya meliputi identifikasi kemungkinan kejadian atau perubahan dimasa depan pada keadaan ekonomi yang memberikan akibat yang tidak menguntungkan pada exposure pembiayaan bank dan penaksiran kemampuan bank mengadaptasi perubahan tersebut. Tiga area yang berguna untuk diuji oleh bank adalah ;
I. Kemerosotan ekonomi dan industri
II. Kejadian berkaitan dengan risiko pasar
III. Kondisi likuiditas.

Stress testing dapat dijangka mulai dari yang relatif sederhana dalam asumsi tentang satu atau lebih kondisi keuangan, struktural atau variable ekonomi sampai penggunaan model-model yang sangat rumit. Yang terakhir khususnya digunakan oleh bank besar / International Active Bank

Apapun metode stress testing yang digunakan, keluaran ( hasil ) test tersebut harus di-review secara periodik oleh direksi untuk diambil tindakan yang sesuai dalam hal hasilnya melebihi toleransi yang disetujui. Keluaran tersebut dapat dijadikan bahan untuk proses guna pembaruan kebijakan dan penetapan limit.
Stress test analisis hendaknya juga meliputi ‘contingency plan’ tentang tindakan yang akan dilakukan manajemen pada suatu skenario tertentu .

Bank hendaknya mengusahakan untuk meng-identifikasi tipe situasi seperti penurunan keadaan ekonomi , baik ekonomi keseluruhan maupun sektor tertentu yang lebih tinggi dari tingkat penyimpangan dan default yang diperkirakan atau kombinasi dari kejadian tentang penyaluran dana dan pasar yang dapat menimbulkan kerugian yang substasial bagi bank atau yang dapat menimbulkan masalah likuiditas

C. Pengendalian Risiko Kredit yang cukup (adequate).

Principle 14 :
Banks must establish a system of independent, ongoing assessment of the bank’s credit risk management processes and the results of such reviews should be communicated directly to the board of directors and senior management.

Hal diatas merupakan standar dalam pengendalian . Ada sistem yang independen dalam mengendalikan proses manajemen risiko penyaluran dana yang dilakukan terus menerus serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan terutama Dewan Komisaris dan direksi. Ketentuan ini wajib dilaksanakan baik pada BUK maupun BUS. Penerjemahannya sebagai berikut :

Prinsip No. 14
Bank harus membentuk sistem yang independen, asesmen proses manajemen risiko penyaluran dana yang terus menerus / berkelanjutan , dan hasil kaji ulang dikomunikasikan langsung kepada Dewan Komisaris dan Direksi Bank..

Sebagai konsekwensi dari penunjukan berbagai individu dalam bank yang mempunyai kewenangan dalam pemberian pembiayaan, bank hendaknya mempunyai suatu system kaji ulang (review) dan pelaporan internal yang efisien untuk mengelola secara efektif berbagai portofolio bank. Sistem tersebut harus menyediakan dan menyajikan informasi yang memenuhi syarat kepada dewan komisaris dan direksi baik untuk keperluan evaluasi kondisi dari portofolio penyaluran dana maupun untuk menilai kinerja account officer .

Kaji ulang internal pembiayaan (internal financing review) dilaksanakan oleh individu yang independen terhadap fungsi bisnis (hal ini dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu Satuan Kerja lainnya yang dibentuk khusus untuk itu) , menyajikan suatu asesmen atas pembiayaan individual dan kualitas overall dari portofolio penyaluran dana. Fungsi kaji ulang pembiayaan dimaksud dapat membantu evaluasi proses administrasi pembiayaan overall , menentukan akurasi dari internal risk rating, dan menilai apakah account officer telah memantau pembiayaan individual sebagaimana mestinya. Fungsi kaji ulang pembiayaan (financing review function) hendaknya memberikan laporan langsung kepada dewan komisaris , komite audit, atau direksi bank yang tidak terkait (tidak mempunyai otoritas) dalam penyaluran dana (seperti, direkdi yang membidangi pengendalian / control).

Principle 15 :
Banks must ensure that the credit-granting function is being properly managed and that credit exposures are within levels consistent with prudential standards and internal limits. Bank should establish and enforce internal controls and other practices to ensure that exceptions to policies, procedures and limits are reported in a timely manner to the appropriate level of management for action

Hal tersebut diatas juga menjadi standar dalam pengendalian , baik pada BUK maupun BUS. Penerjemahannya sebagai berikut :

Prinsip No.15.
Bank harus meyakini bahwa fungsi penyaluran dana dikelola sebagaimana mestinya dan bahwa eksposur pembiayaan secara konsisten berada dalam tingkatan standar kehati-hatian dan batasan-batasan internal yang sudah ditetapkan .
Bank harus membentuk dan melaksanakan pengendalian intern dan praktek lainnya untuk meyakini bahwa penyimpangan terhadap kebijakan , prosedur dan limit yang ditetapkan dilaporkan segera kepada tingkatan manajemen yang sesuai untuk ditindak lanjuti

Maksud dan tujuan dari manajemen risiko penyaluran dana adalah untuk menjaga agar exposure risiko penyaluran dana berada dalam parameter yang sudah ditetapkan dewan komisaris dan direksi. Pembentukan dan pelaksanaan pengendalian intern, operating limit dan praktik lainnya membantu meyakini bahwa exposure risiko penyaluran dana tidak melampaui tingkat akseptabilitas bank yang bersangkutan. Sistim tersebut akan memungkinkan direksi bank untuk melakukan pemantauan sesuai dengan tujuan manajemen risiko penyaluran dana yang ditetapkan.

Internal audit terhadap proses manajemen risiko penyaluran dana harus dilaksanakan secara periodik untuk menentukan bahwa aktivitas pemyaluran dana mematuhi kebijakan dan prosedur bank, bahwa pembiayaan diberikan dalam batas pedoman yang ditetapkan dewan komisaris bank dan bahwa eksistensi, kualitas dan nilai dari pembiayaan pembiayaan individual sudah dilaporakn secara akurat kepada direksi bank. Audit tersebut hendaknya juga digunakan untuk meng-identifikasi area yang lemah pada proses manajemen risiko penyaluran dana , termasuk kelemahan dalam kebijakan dan prosedur serta semua penyimpangan terhadap kebijakan, prosedur dan limit yang telah ditetapkan. Pengungkapan kelemahan tiada lain adalah untuk melakukan koreksi dimana perlu dan secara tepat waktu

Principle 16 :
Banks must have a system in place for early remedial action on deteriorating credits, managing problem credits and similar workout situations.

Prinsip diatas merupakan standar dalam melaksanakan ‘pengawasan‘ penyaluran dana dan berlaku baik pada BUK maupun BUS. Diterjemahkan bagi BUS sebagai berikut :

Prinsip No. 16
Bank harus mempunyai sistem untuk melakukan koreksi dini terhadap penyaluran dana yang menyimpang, mengelola pembiayaan bermasalah dan hasil pekerjaan serupa lainnya.

Proses kaji ulang pembiayaan yang sistematis adalah untuk meng-identifikasi kelemahan-kelemahan atau pembiayaan bermasalah. Penurunan kualitas pembiayaan hendaknya dapat diketahui pada tingkat awal, ketika masih banyak cara (opsi) yang tersedia untuk memperbaiki pembiayaan tersebut. Bank harus mempunyai disiplin yang ketat dalam proses manajemen perbaikan pembiayaan bermasalah yang bekerja melalui administrasi kredit dan sistem pengenalan masalah (problem recognitions system) berdasarkan pemantauan yang efektif.

Kebijakan risiko penyaluran dana bank hendaknya secara jelas menetapkan, bagaimana bank akan mengelola pembiayaan bermasalah.. Bank berbeda-beda dalam menetapkan organisasi dan metode yang digunakan untuk menangani pembiayaan bermasalah. Tanggung jawab terhadap pembiayaan dimaksud mungkin dapat ditetapkan kepada business function darimana penyaluran dana tersebut berasal, atau kepada suatu unit ‘penyelesaian’ khusus , atau kepada keduanya, tergantung pada ukuran dan sifat pembiayaan dan sebab / alasan terjadinya masalah.

Perlu dibuat program penyelesaian yang efektif untuk pengelolaan risiko dalam portofolio. Jika bank mempunyai suatu pembiayaan yang signifikan yang bermasalah, maka nasabah yang dimaksud perlu dipisahkan dari satuan kerja pemberi pembiayaan semula kepada suatu unit yang ber fungsi penyelesaian . Sumber daya tambahan yang diperlukan , keahlian dan konsentrasi serta fokus hanya kepada penyelesaian, umumnya akan memperbaiki hasil penagihan. Unit penyelesaian dapat membantu mengembangkan strategi yang efektif untuk merehabilitasi pembiayaan bermasalah atau untuk meningkatkan jumlah total pembayaran kembali oleh nasabah. Suatu unit penyelesaian yang berpengalaman dapat juga menyediakan input yang bernilai bagi strukturisasi pembiayaan yang dikerjakan oleh bisnis unit.

Tahapan penerapan :

Pada saat ini , mengingat keberadaan perbankan syariah sudah lebih dahulu dibandingkan dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang’ Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.’. serta Surat Edaran BI No.5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 tentang ‘Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum ‘, maka penulis yakin atau sekurang-kurangnya berasumsi bahwa semua Bank Umum Syariah (BUS) telah mengimplementasikan manajemen risiko, namun kemungkinan dengan tingkatan yang berbeda-beda. Bagi Bank Umum Syariah yang besar, menerapkan keseluruhan prinsip diatas lebih perlu dan mutlak dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan GCG di bank tersebut. Hal ini akan menguntungkan bagi perkembangan bank kedepan.

Bagi bank yang baru mulai atau belum sepenuhnya menerapkan prinsip prinsip tersebut, dapat mengambil langkah penyesuaian dengan tahapan yang disesuaikan dengan kemampuan, pengetahuan dan skill personalia bank. Sekedar pembanding , berikut ini tahapan secara umum yang dapat dilakukan dalam menerapkan manajemen risiko penyaluran dana pada bank syariah :

1. Kaji ulang proses pembiayaan bank.

Proses penyaluran dana bank harus dikaji ulang dan disesuaikan dengan konsep-konsep manajemen risiko penyaluran dana. Pokok-pokok yang perlu disesuaikan mencakup hal-hal sebagai berikut :

a) Proses pembiayaan dibedakan berdasarkan risikonya, bukan semata-mata berdasarkan ukuran besarnya nilai limit pembiayaan yang diminta. Masalah ke-halalan hendaknya ditetapkan sebelum proses / analisis pembiayaan dimulai. Hal pertama dalam proses adalah pengukuran risiko pembiayaan, kemudian menetapkan standard risiko yang akseptabel bagi bank. Istilah yang lazim digunakan dalam penetapan ini adalah ‘risk appetite’ . Berdasarkan itu Bank dapat menetapkan permohonan pembiayaan mana yang layak untuk disetujui dan mana yang harus ditolak.

b) Alur kerja mulai diusahakan lebih banyak bersifat otomasi, artinya penilaian suatu permohonan / proposal pembiayaan sudah berdasarkan standar yang baku dan jelas sehingga penilaian subjektif dari analis / pejabat sangat dikurangi. Dengan demikian siapapun analis yang mengerjakan dan dimanapun (Cabang manapun) suatu permohonan pembiayaan diajukan keputusan yang akan diambil oleh bank akan sama.

c) Menyelaraskan “Strategi Risiko” dengan “Strategi Bisnis”. Dengan implementasi Manajemen Risiko, bank harus menyesuaikan strategi bisnisnya dengan risiko yang akseptabel bagi bank. Dengan demikian bank tidak akan memasuki suatu bisnis baru yang risikonya diluar Strategi Risiko yang sudah ditetapkan. Disatu pihak hal ini seolah membatasi ruang gerak bank, namun dari segi strategi risiko bank akan lebih aman dan dalam jangka panjang akan mempunyai core bisnis yang sehat yang menjadi andalan dan keahlian bagi bank.

d) Menerapkan Manajemen Portofolio Pembiayaan yang aktif. Dengan menerapkan manajemen risiko, Portofolio Pembiayaan bukan lagi merupakan hasil kulminasi akhir yang terbentuk dengan tidak sengaja. Melainkan merupakan hasil aggregate dari perencanaan pembiayaan berdasarkan sektor usaha, perkiraan risiko dan komposisi yang sejak semula sudah dengan sengaja direcanakan dan diatur strateginya.

2. Melaksanakan pekerjaan berdasarkan “Best Practice”.

Dalam melaksanakan suatu kerangka kerja (frame work), bank harus meyakini bahwa suatu kerangka kerja tersebut memang paling sesuai untuk dilaksanakan. Artinya bank tidak memaksakan suatu kerangka kerja yang bagus bagi bank lain tapi tidak sesuai atau tidak efektif dan efisien kalau di lakukan oleh bank tersebut.
Pokok-pokok sebagai berikut perlu dikaji “best practice”-nya oleh bank dalam pelaksanaannya.

a) Keluasan (comprehensiveness) dari Kebijakan Penyaluran Dana dan Kebijakan Risiko Penyaluran Dana. Kebijakan Penyaluran Dana mencakup a.l. bisnis yang akan ditangani ,sektor yang diprioritaskan dan arah pengembangan pembiayaan bank kedepan.. Kebijakan risiko pembiayaan dikaji bersama-sama dalam penetapan Kebijakan Pembiayaan namun lebih difokuskan pada aspek risikonya, yaitu risiko bisnis tertentu, risiko komoditi tertentu, risiko sektor tertentu dan ‘risk appetite’ nya masing-masing .

b) Organisasi Pembiayaan
Dibentuk dengan memperhatikan azas pembagian fungsi secara independent antara :
# Fungsi penyaluran dana (financing origination)
# Fungsi manajemen risiko penyaluran dana
# Fungsi “Client Relation” (yang melaksanakan pemantauan atau pengawasan terhadap pembiayaan yang sudah diberikan).
c) Menetapkan limit setiap parameter (Berdasarkan Sektor, berdasarkan Rangking Jabatan, Berdasarkan Satuan Kerja/KP/Wilayah/Cabang, berdasarkan jenis pembiayaan dan sebagainya
d)Menetapkan internal “Model” pembiayaan yang berbeda sesuai category peminjam dan melakukan “mapping “skala peminjam sesuai skala yang umum. Hal ini terkait dengan kategorisasi peminjam. Penetapan kategori peminjam dipilih yang paling sesuai dengan bisnis bank, misalnya kategori disusun sbb:
d.1. Pembiayaan Murabahah (Murabahah Financing).
d.2. Pembiayaan Salam (Salam Financing)
d.3. Pembiayaan Istisna (Istisna Financing) dst.
Pada setiap kategori ditetapkan model pembiayaan yang berbeda. Artinya model dan analisis pembiayaan pada Murabahah , berbeda dengan model pembiayaan Salam/Istishna.
e) Kemampuan bank dalam melakukan kalkulasi terhadap “Probability of Default” yang didasarkan pada sistem scoring internal bank. Bank harus mempunyai sistem scoring pembiayaan sendiri untuk menghitung risiko pembiayaan dari seorang calon debitur.

II. “Tools“ dalam Manajemen Risiko Pembiayaan

Sistem scoring yang di-design bank akan menghasilkan “tools” bagi manajemen pembiayaan , diantaranya yang penting adalah :

a) Untuk menghitung risiko penyaluran dana pada calon nasabah atau menghitung ulang risiko pembiayaan suatu nasabah debitur dalam rangka Kaji Ulang Kredit (credit review) yang bersangkutan, baik dalam rangka perpanjangan atau penaikan atau adanya perubahan risiko (risk migration) yang perlu di cermati.
Penghitungan Risiko Penyaluran Dana adalah menghitung kemungkinan kerugian akibat suatu kegagalan dalam pembiayaan.. Kemungkinan kegagalan di artikan sebagai Probability of Default.(PD). Penghitungan Probability of Default dilakukan oleh Satuan Kerja Management Risiko.

Catatan :
Suatu Satuan Kerja Manajemen Risiko dapat terdiri dari Sub-Sub sebagai berikut :
- Sub Satuan Kerja Manajemen Risiko Penyaluran Dana
- Sub Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasar. Satuan kerja ini terutama akan mem-back up Satuan Kerja Treasury dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya.
- Sub Satuan Kerja Manajemen Risiko Lainnya. Yang akan mem-back up Satuan Kerja lain dalam mengkaji dan mengelola risiko lainnya seperti Risiko Operasional.

Pembagian tersebut tergantung terutama pada size dan kompleksitas operasional bank karenanya pembagian atas Sub Sub Satuan kerja seperti tersebut diaatas tidaklah mutlak melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan bank. Perhitungan PD yang diperoleh untuk pembiayaan individual debitur dibandingkan dengan tingkatan risiko yang ditetapkan sebagai Akseptabel Risk bagi bank. Apabila tingkatan risiko nasabah masuk dalam kategori akseptabel, permohonan nasabah disetujui, apabila sebaliknya akan ditolak.

b) Untuk penyusunan Scoring Penyaluran Dana (Credit Scoring).

Penghitungan PD dapat dilakukan dengan menggunakan model, antara lain yang sering dipakai adalah :
• Poisson Distribution
• Monte Carlo Simulation
Hasil penghitungan merupakan dasar untuk pengelompokkan nasabah dalam “kelompok risiko” yang disebut sebagai Credit Scoring (Scoring Pembiayaan) atau Internal Credit Ratin (Rating Pembiayaan). Penghitungan dengan menggunakan model diatas adalah penerapan metode statistik dengan didasarkan historis data Bank minimal dengan jangka waktu 5 tahun.terakhir. Probability of default (PD) dihitung untuk periode (time horizon) satu tahun kedepan dengan confident interval 99% s/d 99,75%. Pencaran atau distribusi dari angka yang diperoleh dikelompokkan dalam suatu “Risk mapping”. Risk mapping dapat disusun sesuai kebutuhan bank yang satu sama lain dapat berbeda. Dapat dibuat 5 skala sampai dengan 10 skala dalam risk mapping. Dari skala yang dibuat ditetapkan klas dari Credit Scoring. Contoh Scoring Credit berikut ini menggunakan 6 skala

-----Scoring Pembiayaan pada Bank “Amanah”

Klasifikasi Pembiayaan --------ScorePembiayaan
Highest Quality-------------------1.00 - 1.83
Good Quality---------------------- 1.84 - 2.66
Average---------------------------- 2.67 - 3.50
Below Average -------------------- 3.51 - 4.34
Poor Risk---------------------------4.35 - 5.17
High Risk-------------------------- 5.18 - 6.00


Penetapan Credit Rating (Rating Pembiayaan) sedikit berbeda dengan Scoring Pembiayaan (Credit Scoring), karena pada umumnya assessment risiko penyaluran dana tidak hanya berdasarkan data keuangan historis, melainkan juga dengan menambahkan judgment terhadap kondisi manajemen debitur, faktor eksternal seperti kecendrungan pasar, kondisi industri dan prospek dari debitur. Internal. Rating Pembiayaan dapat dikelompokkan menggunakan Abjad menurut kualitasnya.
Contoh sebagai berikut :

Internal Rating Pembiayaan pada Bank “Prima Syariah“
Grade Rating Class Rating Definition
Investment
Grade------AAA ---lowest dalam Risiko Penyaluran Dana dan best capacity to pay
-------------AA -----very low dalam Risiko Penyaluran Dana dan very good capacity to pay
------------ A-------low dalam RisikoPenyaluran Dana namun ditopang oleh good capacity to pay
-------------BBB-----Moderate dalam RisikoPenyaluran Dana ditopang oleh moderate capacity to pay

Speculative
Grade-----BB-------ability to pay but with a high Risiko Penyaluran Dana serta very high susceptibility to adverse changes.
------------B--------very high dalam RisikoPenyaluran Dana dan very limited capacity to pay
------------CCC------no capacity to meet its general obligations
------------CC-------Company which has ceased business


Khusus Pengelompokkan a.d. Investment Grade dan Speculative Grade ditujukan untuk keperluan penilaian Surat Berharga.

c) Untuk menetapkan “Risk Appetite”.
Risk Appetite adalah patokan dalam menyetujui atau menolak suatu permohonan pembiayaan.. Patokan ini adalah tingkat risiko tertentu yang menjadi batas antara risiko yang akseptabel dan risiko yang tidak akseptabel dan ditetapkan Direksi berdasarkan pertimbangan subjektif (selera) karena itu disebut sebagai “Risk Appetite”. Contoh sebagai berikut :

Berdasarkan Keputusan Direksi Bank, ditetapkan “Risk Appetite“ adalah pada angka 3.00 (lihat Gambar dibawah), maka setiap permohonan pembiayaan dengan scoring diatas 3.00 ditolak dan permohonan pembiayaan dengan scoring dibawah 3.00 diterima.

Highest Quality------1.00 - 1.83
Good Quality----------1.84 - 2.66
Average---------------2.67 –
------------------------------2.70
------------------------------2.80
------------------------------2.90
------------------------------3.00---------- Risk Appetite
------------------------------3.10
------------------------------3.20
------------------------------3.30
------------------------------3.40
------------------------------3.50
Below Average---------3.51 - 4.34
Poor Risk---------------4.35 - 5.17
High Risk---------------5.18 - 6.00

d) Untuk menetapkan Nisbah yang lebih proporsional.
Bagi bank yang tidak terlalu kompleks bisnisnya penetapan Nisbah cukup dilakukan berdasarkan Scoring Pembiayaan Bagi bank besar yang mempunyai kemampuan manajemen yang lebih canggih, penetapan nisbah juga dengan memperhitungkan faktor lainnya (a.l unexpected loss). Apabila Bank sudah mempunyai Scoring Pembiayaan maka bank mengetahui nasabah mana yang risikonya tinggi dan nasabah mana yang risikonya rendah. Untuk nasabah yang risikonya rendah, maka logis kalau diberlakukan nisbah yang lebih tinggi bagi nasabah karena risikonya rendah bagi bank. Sebaliknya nasabah yang risikonya lebih tinggi harus diberlakukan nisbah yang lebih rendah bagi nasabah tersebut artinya nasabah menerima sesuai tingkat risiko penyaluran dana kepada nasabah yang bersangkutan.
Nasabah “Prima” yaitu nasabah dengan risiko penyaluran dana yang rendah, lazimnya dipakai sebagai patokan dalam penetapan nisbah. Kepada nasabah dikenakan rumus nisbah terendah yang diterima bank ,dan nasabah lain dikenakan nisbah diatasnya secara bertingkat. Artinya semakin tinggi risiko semakin tinggi pula seharusnya keuntungan yang diperoleh bank. Jadi nisbah bukanlah perbandingan secara proporsional nsabah dengan bank yang sama besarnya untuk semua nasabah. Nasabah dengan risiko tinggi akan memperoleh pembagian yang lebih rendah.

--------- 000 -----------

Reference :
Bank for International Settlement , Basel Committee on Banking Supervision,
“Principles for Management of Credit Risk“, September 2000.
Bank Indonesia :
1. SEBI No. 5/22/ DPNP tanggal 29 September 2003 serta lampirannya tentang “Pedoman Standar Pengendalian Intern Bagi Bank Umum
2. PBI No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
3. SEBI No.5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 tentang “Pedoman Stándar Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum”
4. PBI No.11/25/PBI/2009 tanggal 1 juli 2009 , tentang Perubahan PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum,
5. Z.Dunil , Bank Auditing ; Risk Based Audit- Dalam Pemeriksaan Perkreditan Pada Bank Umum, Penerbit, PT Indeks, GrupGramedia, Mei 2005.